Paroki St. Clemens – Puruk Cahu

Sejarah Singkat Terbentuknya Paroki

Sewaktu terjadi Perang Dunia II, Puruk Cahu adalah tempat beberapa  missionaris MSF ditawan oleh Jepang pada taGereja St. Klemens Puruk Cahuhun 1945. Setelah perang dunia II usai dengan teratur umat katolik di Puruk Cahu dikunjungi oleh P. Ant.v.d. Graaf MSF, sampai pertengahan tahun 1950. Sesudah tahun 1950 sangat jarang seorang pastor dari Banjarmasin mengunjungi Puruk Cahu. Pada tahun 1954 stasi Muara Teweh didirikan, namun Puruk Cahu tetap kurang diperhatikan. Bulan Oktober 1955 Pastor Hendrik Timang selama 3 minggu lebih tinggal di daerah Puruk Cahu dan bertemu dengan 10 orang Katolik. P. Timang sempat mengunjungi beberapa kampung diantaranya Muara Laung, Muara Tuhup, Muara Maruei I+II, Batu Bua, Tino Pantai dan Tuhup. Dari hasil kunjungan tersebut P. Hendrik Timang mengajurkan supaya Puruk Cahu dijadikan stasi. Pada tahun 1957 Puruk Cahu merupakan bagian dari paroki Muara Teweh dan dilayani secara teratur oleh Pastor Y. Zoetebier MSF yang juga dikenal sebagai perintis dalam membuka daerah-daerah baru di sepanjang sungai Barito. Pada waktu itu perjalanan pastoral dari Muara Teweh hanya bisa dilakukan lewat sungai, dan memakan waktu satu hari satu malam. Pada tahun 1966 P. Zoetebier membangun pastoran di Puruk Cahu yang digunakan separuh untuk gereja yang diberkati oleh P. Zoetebier sendiri tgl. 31 Desember 1966.

Stanis Wrzesnieski MSF yang telah membantu P. Zoetebier sejak tahun 1972 di Muara Teweh, pindah ke Puruk Cahu. Satu tahun kemudian tepatnya tgl. 22 April 1973 stasi Puruk Cahu didirikan secara resmi dan P. Stanis sebagai pastor pertamanya (sejarah paroki Puruk Cahu yang ditulis oleh Mgr. W. Demarteau MSF).[1] Tugas P. Stanis saat itu memang cukup berat. Tugas sebagai perintis dalam membuka daerah-daerah baru yang medannya begitu sulit.  Namun tugas tersebut membawa suatu kegembiraan, yaitu pada akhir tahun 1974 umat katolik di Puruk Cahu berjumlah 75 orang dan kampung sekitarnya berjumlah 355 orang dan calon baptis ada 378 orang.

Gambaran Umum Paroki Puruk Cahu

Letak Geografis dan luas wilayah

Puruk Cahu merupakan ibu kota kabupaten Murung Raya terletak pada 1140 BT – 1150 BT dan 70 LU – 0,50 LS. Di bagian Barat, Paroki Puruk Cahu berbatasan langsung dengan kabupaten Kapuas Hulu (Putusibau – Kalbar); di sebelah Utara hingga Timur terdapat Kabupaten Kutai (Tenggarong – Kaltim); dan di bagian Tenggara sampai Selatan ada kabupaten Barito Utara (Paroki Muara Teweh – Kalteng); serta di sebelah Barat Daya hingga Barat terdapat kabupaten Gunung Mas (Paroki Kuala Kurun – Kalteng). Luas wilayah paroki St. Klemens Puruk Cahu kurang-lebih 23.700 Km2. Sejak berlakunya otonomi daerah dan dengan adanya pemekaran kabupaten pada tahun 2002, maka Puruk Cahu telah ditingkatkan statusnya oleh pemerintah menjadi ibu kota kabupaten Murung Raya, dengan mencakupi 5 kecamatan:

  1. Laung Tuhup dengan ibukota kecamatan Muara Laung.
  2. Murung dengan ibukota kecamatan Puruk Cahu.
  3. Tanah Siang dengan ibukota kecamatan Saripoi
  4. Permata Intan dengan ibukota kecamatan Tumbang Lahung
  5. Sumber Barito dengan ibukota kecamatan Tumbang Kunyi.

Keadaan Penduduk

Pada umumnya masyarakat di wilayah Puruk Cahu hidup berladang. Mereka tergolong peladang berpindah yang sudah turun temurun dijalani. Hutan yang sudah dibersihkan kemudian mereka jadikan ladang dan ditanami dengan benih padi. Kebanyakan mereka mengerjakan bersama-sama sekitar bulan Juli sampai pertengahan Oktober. Sekitar akhir Pebruari padi siap dituai. Panen tersebut diharapkan cukup untuk hidup sampai panen berikutnya. Apabila tidak, mereka masih terbantu oleh musim buah sekitar bulan Desember – Januari. Di luar masa-masa tersebut di atas, masyarakat dapat mengurus kebun karet dan rotan yang ditanam beberapa tahun sebelumnya. Itu kehidupan masyarakat petani. Selain petani, sebagian masyarakat yang tinggal di paroki ini juga banyak yang menjadi penambang emas dan intan. Rata-rata bagi mereka yang menambang emas memperoleh penghasilan lebih banyak dari rekan-rekannya yang bekerja di bidang lain. Mereka ada yang dapat mengelola keuangannya dengan baik dan masih banyak juga yang belum.

Bagi masyarakat yang tinggal di kampung-kampung, ada juga yang mengandalkan hasil hutan misalnya, menebang pohon, mencari damar, gaharu, sarang burung wallet dan berburu. Sedangkan masyarakat yang tinggal di kota pada umumnya pedagang, bekerja di kantor, wiraswasta dan buruh.

Tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya sudah mulai baik. Di tiap kota kecamatan sudah ada TK, SD, SLTP, dan SMU. Minat untuk sekolah ke Perguruan  Tinggi juga semakin meningkat. Bahkan sudah ada banyak yang menjadi sarjana. Di pedesaan rata-rata anak kelas 3 SD sudah dapat berbahasa Indonesia.  Ada banyak bahasa yang digunakan masyarakat di wilayah ini diantaranya bahasa Siang, Murung, Bakumpai, Kahayan, Maanyan dan Banjar. Penduduk asli sangat terbuka bagi para pendatang yang mau berbuat baik dan menghargai adat setempat. Ini nampak dalam keseharian mereka dan dijumpainya banyak bahasa dan agama yang berbeda-beda. Jumlah penganut agama Kaharingan merupakan mayoritas kemudian Kristen Protestan, Islam dan Katolik.

Dinamika Hidup Menggereja

Perkembangan Umat, Jumlah Stasi dan Gereja

Umat katolik di paroki St. Klemens Puruk Cahu tersebar di beberapa tempat/ kampung/stasi. Kini ada 35 stasi yang masih aktif (masih dilayani) termasuk Puruk Cahu sebagai pusat paroki.  Jumlah perkembangan umat dalam kurun waktu 45 tahun, sampai pada awal tahun 2003 tercatat 4.061 jiwa (menurut isian Statistik yang diedarkan tiap akhir tahun). Perkembangan ini meliputi Baptisan baru (dewasa maupun anak-anak), pindahan dari Gereja lain (biasanya ada kaitan dengan perkawinan). Jumlah gereja tercatat ada 14 gereja termasuk satu gereja induk di Puruk Cahu. Semua bangunan gereja tersebut dibuat dari Kayu.

Gereja Induk di Puruk Cahu, yang bangunannya merupakan satu kesatuan dengan bangunan pastoran, sebenarnya sudah perlu direhap atau dibangun baru. Pastoran yang dibangun dari beton sudah ada, namun saat ini dipakai oleh para suster TMM. Sementara bangunan susteran masih dalam tahap penyelesaian.

Karya Pastoral dan tenaga pastoral

Dalam melayani umat yang penuh dinamika, P. Yohanes Warsito Pr dibantu P. Frans Janu Hamu Pr dan beberapa tenaga pastoral diantaranya  Para Suster Maria Mediatriks, satu katekis tetap Keuskupan dan dua orang guru agama Katolik Negeri. Kemudian  ada beberapa guru SD/SLTP negeri di kampung-kampung yang bera-gama Katolik mengajar bidang studi agama Katolik di sekolahnya serta relawan yang bekerja di Rumah Sakit, yang bersedia mengajar bidang studi agama Katolik di SMU dan SLTP di kecamatan tanpa digaji oleh paroki. Karya pastoral seperti pelajaran katekumen, persiapan krisma, pembinaan iman anak-anak, telah menjadi bagian karya para petugas pastoral di paroki ini. Telah ada 10 orang Pastor yang telah melayani  paroki ini diantaranya P. Y. Zoetebier, MSF, P. Stanis Wrzesniewski, MSF, P. Stefan Kolodziej MSF, P. Bambang Sumartejo, MSF, P. Bethras Reksotomo MSF, P. T.L. Atsui Wiyatngow MSF, P. Vincentius Delius Pr, P. Yohanes Warsito Pr sampai sekarang dan P. Frans Janu Hamu Pr sampai dengan pertengahan tahun 2003.

Kendala yang dihadapi

  • Kunjungan ke stasi-stasi jauh yang dulunya mudah dijangkau lewat jalan perusahan, kini sulit karena perusahaan telah tutup dan jalan kekampung tidak terawat lagi dan banyak jembatan yang runtuh. Bila dikunjungi lewat sungai biayanya sangat besar, ditambah lagi berjalan kaki 5 – 7 km melalui jalan setapak lewat ladang dan kebun karet.
  • Tenaga Pastoral yang terbatas, dengan melayani 35 stasi terpencar-pencar dan berjauhan.
  • Dalam hal dana, paroki ini termasuk belum bisa mandiri. Swadaya umat hanya mampu 2,5 %. Memang pernah pada tahun-tahun sebelumnya swadaya umat sampai 7,4% karena pada saat itu banyak umat yang bekerja di perusahaan dan biaya transportasi belum begitu mahal. Saat ini untuk mencapai stasi yang terisolir, harus mengeluarkan biaya transportasi sekitar Rp.200.000,- – Rp.250.000,- (PP). Bila membawa kendaraan sendiri, biaya malah lebih besar, pernah sempat satu kali jalan ke stasi jatuh sampai enam kali. Namun begitu sudah ada beberapa stasi yang mencoba memberi bantuan untuk paroki misalnya stasi Cangkang, Montiat Pari dan Tumbang Bana. Mereka memberi sumbangan tiap bulan mulai Januari 2003 tiap KK minimal Rp.1000,-
  • Di stasi-stasi banyak dijumpai Peranan Keluarga dalam hidup menggereja kurang. Ini terjadi salah satunya adalah lemahnya pembinaan persiapan baptisan dan pembinaan lanjutan yang kurang.

      Memang ada beberapa keluarga yang memiliki semangat untuk maju dan mau berbuat apa saja demi memajukan anggota stasinya, dan mereka inilah yang sangat berperan dalam kehidupan menggereja. Agar orang-orang seperti ini dapat berkiprah dengan baik maka sangat perlu diadakan pembinaan-pembinaan yang mengena.

Kebijakan Pastoral yang diusahakan

Dengan mengingat berbagai persoalan yang ada di paroki ini, kami mencoba mengusahakan beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan yaitu dengan membentuk wilayah kunjungan untuk mempermudah pelayanan. Ada 7 wilayah kampung dan 1 wilayah pusat. Untuk wilayah pusat ada 6 stasi yang dilayani tiap minggu. Sedangkan bagi wilayah kampung ada yang dikunjungi satu kali dalam sebulan; dua bulan sekali; dan tiga bulan sekali. Hal ini dilakukan agar umat di tiap-tiap stasi sering mengadakan peribadatan bersama dengan pastor dan partisipasi umat lewat kolekte akan meningkat. Selain kunjungan rutin, Pastor juga mengunjungi stasi-stasi baru/khusus yang dirasa perlu membutuhkan pembinaan serius. Kunjungan tersebut diisi dengan katekese dan pelajaran lain mengenai peribadatan. Memang ada permintaan untuk mengadakan pembinaan bagi para ketua umat/wakilnya khusus tentang peribadatan. Tujuannya agar mereka mampu menjadi pemimpin ibadat khususnya Ibadat Sabda dan Ibadat Kematian.

Penanganan anak-anak Sekami, baru kami usahakan dengan merekrut orang-orang yang bersedia menjadi pembina tanpa dibayar oleh paroki. Hal ini dikoordinir oleh Sr. Damiana Laritembun, MM dengan beberapa anggota yang membantunya.

Untuk pelatihan dan pembinaan umat yang diadakan di pusat Keuskupan Palangka Raya, kami mengirim umat yang berbeda/bergantian supaya mereka mengenal dan pernah berjumpa dengan umat lain sekeuskupan. Dengan demikian diharapkan mereka dapat saling membagikan pengalamannya. Dalam hal ini kami menghimbau agar umat mampu dan mau mengeluarkan biaya sendiri tanpa minta bantuan keuangan dari paroki.

Harapan

Adanya permintaan kunjungan ke daerah-daerah baru, hanya saja kurang mendapat tanggapan karena medan yang berat, dana pas-pasan, dan terbatasnya tenaga pelayan pastoral.

Dari segi kualitas umat, kami punya harapan positif, karena mereka memiliki kemauan untuk maju begitu kuat. Ritme kunjungan yang diperbanyak dan materi pembinaan yang dipersiapkan mungkin akan dapat merubah keadaan, meskipun tidak terlalu banyak, paling tidak dalam hal peribadatan dan pemahaman iman Kristiani. Mengenai kebiasaan tidak baik seperti judi dan mabuk-mabukan, semoga perlahan-lahan akan ada perubahan. Kita berkeyakinan bahwa segala sesuatu akan menjadi baik.

[1] Berdasarkan catatan Buku Baptis Paroki, sejak tanggal 01 Januari 1967 Puruk Cahu dan wilayah sekitarnya mulai berdiri sebagai paroki baru dengan nama pelindung St. Klemens. (sumber dari sekretariat paroki Puruk Cahu).

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *