“Paskah Indah: Saat Ada Niat Baik, Di Situ Pasti Ada Jalan”

Kami mempunyai cerita tersendiri ketika ikut dalam rangkaiann Turne Paskah 2015 di Paroki St. Theresia Rungan Manurungan1hing. Saya dan teman saya, sebut saja Lusia Natalia Dewi Darajati, beberapa hari sebelum berangkat ke Paroki Rungan Manuhing telah membuat  rencana perjalanan. Perencanaan itu dimulai dari memikirkan kendaraan sebagai sarana transportasi, bekal yang perlu dibawa dan juga melobi beberapa teman dari Komisi Kepemudaan agar ikut serta dengan kami untuk merasakan pelayanan di tempat yang jauh dari keramaian. Dan masih ada beberapa hal lain yang kami siapkan.

Selama membuat perencanaan itu banyak hal yang membuat kami “galau”, akhirnya kami mencoba meminta masukan dari beberapa orang yang lebih paham tentang medan dan jalan menuju Paroki St. Theresia Rungan Manuhing. Kami menanyakan ke beberapa teman dan pastor yang sudah tahu rute dan situasi jalan yang akan kami tempuh. Kegalauan itu membuat kami antara mau berangkat atau tidak. Kalau kami berangkat, kami belum tahu situasi dan kondisi jalan padahal jaan yang kami tempuh terbilang cukup jauh yaitu 145 km dari tempat kami. Apalagi jalan yang kami tempuh harus melewati area perkebunan sawit yang nota bene pasti akan sangat jarang untuk ke temu kendaraan dan jauh dari rumah penduduk. Kami harus berangkat karena kami merasa punya amanat suci karena diminta untuk membawakan teks Pujian Paskah. Akhirnya setelah melewati kegalauan, kami nekat berangkat setelah memperoleh gambaran akan situasi dan kondisi jalan yang akan kami lewati, dengan kepercayaan “SAAT ADA NIAT BAIK, PASTI DI SITU AKAN ADA JALAN”

Dalam perjalanan itu pula, kami berdua mencoba mencari tema turne Paskah tahun 2015 ini dan kami menemukan kalimat  “MENCARI KESEDERHANAAN PASKAH”.

Ya, kami pun berangkat menuju Paroki St. Theresia Rungan Manuhing dan setelah kami istirahat sebentar, kami langsung menuju ke sebuah stasi yang jaraknya 40 km dari pusat paroki. Stasi itu adalah  Stasi Luwuk Langkuas. Dalam perjalanan itu, kami begitu merasa bahagia dan dengan tertawa – tiwi kami menikmati perjalanan meskipun jalan berbatu.

Perjalanan kami tempuh kurang lebih satu jam dari pusat Paroki. Sesampai di Stasi Lengkuk Lengkuas kami disambut dengan hangat oleh segenap umat, terutama ibu-ibu yang pada saat itu juga sedang berkumpul memasak guna mempersiapkan makan malam. Lega dan bahagia rasanya bisa sampai di stasi itu. Sesuai kebiasaan yang sudah-sudah setelah Perayaan Paskah, umat setempat tidak langsung pulang ke rumah masing-masing  namun mereka berkumpul untuk menikmati permauan makan bersama. Setelah istirahat sebentar, kami dan Frater Gatot mempersiapkan segala sesuatu untuk Perayaan Paskah.

Pukul 18.00 WIB ibadat Perayaan Paskah yang dipimpin oleh frater Gatot mulai. Jauh dari kata meriah dan mewah, kesederhaan sangat kental kami rasakan di stasi tersebut. Ibadat malam Paskah di mulai dengan upacara pemberkatan api Paskah sebagai tanda terang cahaya Kristus yang menerangi dunia dari kegelapan.

Sebuah Sentuhan dan Berkat dari Allah

Biasanya Perayaan Paskah kami lewati bersama keluarga atau orang terdekat. Namun, beberapa tahun terakhir kami mencoba mencari suasana Paskah yang berbeda, mencari makna Paskah bersama umat lain di tempat yang berbeda. Tourney menurut kami adalah cara yang tepat untuk menemukan jawaban yang kami cari selama ini. Merayakan sukacita Paskah di tengah saudara-saudara yang lain. Berada di antara mereka dalam perayaan iman adalah hal yang luar biasa dan menambah keharuan tersendiri bagi kami.

Puluhan kilometer yang harus ditempuh, rasa lelah, cuaca yang tak bersahabat, kondisi jalan yang kurang mendukung, semuanya itu terbayar lunas ketika bisa merayakan ekaristi bersrungan2ama mereka. Begitu banyak umat di stasi yang merindukan ekaristi dan ternyata mereka tidak seberuntung kita yang berada di paroki kota, yang  dengan mudahnya mendapat pelayanan ekaristi dan pastoral setiap harinya. Umat di stasti mungkin hanya mendapatkan pelayanan 1 kali dalam seminggu atau bahkan dalam satu bulan. Terkadang, hal itu membuat kami merasa bersalah ketika menyadari bahwa kami menyia-nyiakan kesempatan bersama Kristus dalam ekaristi yang bisa kami dapatkan setiap saat. Di situlah kami berfikir bahwa pentinglah peranan para pelayan sabda yang dewasa ini dirasa kurang dalam jumlah panggilan.

Sederhana. Memang itulah yang nampak dan itulah yang kami alami bersama umat di stasi. Fasilitas listrik yang terbatas, altar yang sepi dari bunga, iringan music yang langka tak mengurangi sukacita Paskah kami. Justru dengan kesederhanaan ini kami dapat lebih dalam lagi memaknai Paskah kali ini. Sesederhana cinta kasih Tuhan kita Yesus Kristus. Yaa, sederhana karena cintaNya yang tulus, yang tanpa syarat dan tanpa batas. Ia bahkan tetap mencinta meski kita melukaiNya. Sesederhana cintaNya yang tak menuntut balas. Sebagai wujud sukcaita, kami pun berusaha memberikan yang terbaik kepada Tuhan Yesus dalam pelayanan kali ini yaitu dengan terlibat menjadi petugas liturgy dan membantu mempersiapkan perayaan ekaristi. Serta tak lupa berbagi kebahagiaan bersama anak-anak secara khusus dalam lomba mencari telur paskah. Keceriaan anak-anak dan antusias para orang tua menambah sukacita dan semangat dalam hati kami.

Memang jika itu niat baik, tentu Tuhan akan membuka jalan. Ketika niat kami disambut baik oleh Tuhan, kami yakin Tuhanlah yang membuat segalanya menjadi mungkin terjadi termasuk perjuangan perjalalan kami ke stasi kali ini. Akhirnya sukacita kami kali ini, kembali kami persembahkan kepada Tuhan lewat perantaraan Maria Bunda Karmel, sebab sepulangnya dari stasi kami sempatkan berkunjung dan melengkapi ziarah kami di Bukit Doa Karmel.

PERJALANAN INI

Perjalanan yang panjang. Jalanan yang jelek, berlubang, dan berbatu ini ternyata memberikan makna tersendiri bagi kami. Sebuah refleksi batin yang akhirnya memperkaya iman kami.

Ibarat sebuah kehidupan, kondisi jalan itu adalah perjalanan hidup kita. Kadang jalan yang kita lalui adalah jalan mulus beraspal, jalan yang bebas hambatan dan segalanya menjadi mudah dilalui. Kita berharap bahwa jalan muluslah yang akan selalu kita lalui.

Tetapi, kenyataannya kadang hidup kita tak selamanya mulus  beraspal. Terkadang perjalanan kita pun seperti jalanan yang berlubang, berkubang lumpur, berbatu, terjal dan berliku. Banyak hambatan yang ditemui, banyak tantangan yang harus dihadapi dan tak jarang kita pun terjatuh ketika beban hidup menghimpit kita.

Tuhan memang tidak menjanjikan hidup kita tanpa hambatan, mulus seperti jalanan beraspal. Tetapi, ketika Tuhan mengizinkan semua hal itu terjadi dalam hidup kita berarti Tuhan yakin kita sanggup melaluinya dan menyelesaikan ujian kita. Tuhan hanya menjanjikan tetap setia mendampingi kita sampai akhir perjalanan kita.

Pertanyaannya, sanggupkah kita tetap bertahan dalam ujian kita, memperjuangkan diri kita agar mampu melampui kesusahan kita serta mampukah kita bangkit ketika kita terjatuh ? Akhirnya, Tuhan tetap menanti kita di ujung jalan yang beraspal itu. Bersiap menyambut kita dalam pelukan hangatNya jika kita berhasil melewati jalanan yang jelek itu.

Tentunya, ada kebahagiaan tersendiri yang kita rasakan memancar dari kedalaman hati kita jika kita sendiri berhasil melaluinya, berhasil melampaui batas diri kita, berhasil memperjuangkan diri kita untuk keluar dari derita dan meraih kehidupan yang lebih baik. Seperti, kami yang bersuka ketika melihat jalanan beraspal di depan mata, sakitnya badan melewati jalanan jelek pun sirna sudah, tergantikan teriakan sukacita menyambut jalanan beraspal. Ya.. Tuhan memang tidak pernah menjanjikan semua jalanan beraspal…

Salam,….

Reni Mbokde, Lusia Dewi Dara Jati & Fr. Gatot 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *