PERANAN ORANGTUA DALAM PENDIDIKAN NILAI DAN IMAN BAGI ANAK-ANAK

PENGANTAR

Peranan orangtua dalam kehidupan keluarga, khususnya dalam kaitan dengan anak-anak tidak hanya sebatas melahirkan, memberikan makan dan menyediakan tempat tinggal/rumah bagi mereka, tetapi juga menyediakan pendidikan yang baik/memadai, baik pendidikan yang sifatnya formal/sekolah maupun pendidikan non formal:penanaman nilai-nilai luhur, kebiasaan-kebiasaan baik, warisan dari budaya masa lalu, penanaman nilai-nilai keagamaan serta nilai-nilai lainnya yang membantu anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang utuh dan berkualitas (bertumbuh secara manusiawi dan rohani).

Dalam kaitan dengan hal inilah orangtua sungguh mempunyai peranan sangat penting yang tidak dapat diwakilkan kepada pihak manapun, sebab orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Kehadiran dan peranan Guru di sekolah, Katekis atau pihak mana pun harus dilihat sebagai bantuan bagi orangtua dalam menjalankan perannya sebagai pendidik utama dan pertama; karena itu peranan mereka tidak boleh dimutlakkan seolah-olah menggantikan peran orangtua. Hal ini harus dihindari.Tanggungjawab pertama dan utama dalam hal pendidikan tetap berada dalam diri orangtua (Bdk Vat II, Gravissimum Educationis/Deklarasi tentang Pendidikan Kristen, no 3).

  1. Hak Orangtua Dalam Mendidik Anak Bersifat Hakiki

Hak dan kewajiban orangtua untuk mendidik anak bersifat hakiki karena hal ini berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi – suatu tugas yang diterima oleh setiap orangtua tanpa kecuali. Orangtua tidak hanya bertugas untuk melahirkan, menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi anak-anaknya; tugas sebagai orangtua jauh lebih luas dari sekadar tugas ”alamiah” tersebut diatas. Tugas itu juga menyangkut tugas untuk mendidik – suatu tugas yang menurut Johanes Paulus II – adalah tugas yang bersifat asali dan utama karena keistimewaan hubungan cintakasih yang terjalin antara orangtua dan anak; keistimewaan tugas ini membawa konsekuensi yang mendasar bagi orangtua bahwa tugas mendidik anak adalah tugas yang tidak tergantikan dan tidak dapat diambil-alih oleh siapapun dan karena itu tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lain seperti Guru, Katekis, Bruder, Suster, Pastor, dll.

Kecuali ciri-ciri tersebut diatas, unsur yang paling mendasar – begitu mendasar sehingga merupakan ciri khas peranan orangtua selaku pendidik pertama dan utama – adalah cintakasih mereka sebagai orangtua yang terwujudkan sepenuhnya dalam tugas mendidik, karena melalui tugas itu orangtua melengkapi dan menyempurnakan tugas pengabdian kepada kehidupan. Selain menjadi sumber, cintakasih orangtua terhadap anak-anak merupakan prinsip yang menjiwai tugas ini, yang menghilhami serta mengarahkan segala kegiatan kongkrit dalam mendidik: memperkaya anak-anak dengan nilai-nilai keramahan, ketabahan, kebaikan hati, pengabdian, sikap tanpa pamrih dan pengorbanan diri yang merupakan buah hasil cintakasih yang paling berharga.

  1. Tugas Orangtua Sebagai Pendidik Berakar Dalam Panggilan Sebagai Suami-Istri

Tugas orangtua sebagai pendidik pertama-tama berakar dalam panggilan sebagai suami-istri untuk berpartisipasi dalam tugas penciptaan Tuhan. Dengan kesediaan untuk menerima kehidupan baru dengan dan karena cinta, orangtua mempunyai tugas untuk membantu agar kehidupan baru itu sungguh dapat bertumbuh, berkembang dan hidup sebagai manusia yang utuh.

Hal tersebut ditegaskan oleh para Bapa Konsili Vat II: ”Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka mereka terikat kewajiban yang amat berat untuk mendidik anak-anak mereka. Oleh karena itu, orangtua harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama. Begitu pentingnya tugas mendidik itu sehingga tidak ada apa pun atau hal lain mana pun yang dapat menggantikannya. Karena itu adalah penting bahwa orangtua menciptakan lingkungan keluarga yang dipenuhi oleh semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sehingga menunjang keutuhan perkembangan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Tepatlah kalau dikatakan bahwa keluarga adalah ”sekolah” pertama dimana anak-anak memperoleh pengajaran mengenai keutamaan-keutamaan sosial – hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap masyarakat” (Gravissimum Educationis, n. 3).

  1. Keluarga adalah Sekolah Pertama

Selain sebagai ”sekolah” pertama seperti yang ditegaskan oleh Konsili Vat. II diatas, keluarga adalah tempat pertama dimana anak-anak belajar berinteraksi satu sama lain, belajar mengenai nilai-nilai sosial, pengorbanan diri demi orang lain yang pada gilirannya akan menumbuhkembangkan kepekaan anak-anak akan keperluan orang lain di luar dirinya.

Roh atau semangat untuk saling memberikan diri dan berkurban satu sama lain seperti yang dinampakkan oleh suami-istri adalah model dan ukuran bagi anakanak untuk mempraktekkan nilai pengurbanan diri ini dalam relasi dengan saudara/saudari serumah dan dengan segenap anggota keluarga lainnya, yang pada akhirnya akan menuntun mereka untuk mempraktekkan nilai yang sama dalam relasi dengan orang-orang lain – sesamanya. Sebagai Pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, orangtua mempunyai tugas luhur untuk mengajarkan atau menanamkan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan yang oleh kebanyakan orang sudah dirasakan semakin mengalami kemunduran atau kemerosotan dalam kehidupan bersama. Apa yang di masa lalu dianggap sebagai nilai kebanggaan bahkan nilai yang membedakan kita dari masyarakat atau suku bangsa lainnya seperti : keramahtamahan, cinta damai, kejujuran, toleransi, semangat berkurban, semangat berbagi dengan orang lain, penghormatan terhadap hak dan hidup orang lain, kesetiaan dan nilai-nilai religius perlu ditanamkan dan dihidupkan kembali dalam diri anak-anak; dalam hal ini orangtua sungguh mempunyai peranan yang sangat penting.

Penanaman dan pendidikan nilai-nilai luhur itu harus dimulai dari keluarga masing-masing. Pertama-tama dalam keluarga anak-anak harus belajar ”menghidupi” atau mempraktekkan nilai-nilai itu dalam keseharian hidup mereka. Melalui contoh dan teladan kongkret dari orangtua anak-anak semakin diyakinkan akan kebenaran dan pentingnya nilai-nilai itu dalam kehidupan bersama, sehingga mendorong mereka untuk memperjuangkan penghayatan nilai-nilai itu.

Sebagai contoh: orangtua mengajarkan kepada anak-anak untuk bersikap jujur – tidak berbohong kepada orang lain. Penanaman nilai kejujuran ini akan dengan mudah diterima dan dihayati oleh anak kalau orangtua menunjukkan sikap dan keteladanan kejujuran dalam kehidupan mereka; bila sikap itu ditunjukkan oleh orangtua, maka tidak akan sulit untuk menuntut atau mengharapkan anak bersikap jujur. Contoh dan teladan dari orangtua menjadi unsur yang sangat penting dalam penanaman atau pengajaran nilai-nilai/ keutamaan-keutamaan kepada anak-anak.

  1. Dampak Negatif Media Massa bagi Pendidikan Anak-Anak

Perkembangan mass media di satu pihak membantu manusia untuk hidup lebih mudah dan nyaman dalam berbagai seginya, namun di sisi lain juga membawa dampak negatif yang cukup signifikan dalam kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan. Rujukan atau titik referensi akan ”kebenaran” tidak lagi dimonopoli oleh orangtua tetapi telah bergeser ke sejumlah ”agen” seperti: Televisi, Majalah, Buku-Buku, Film, Iklan, Sinetron, dll yang juga menawarkan sejumlah nilai kepada anak-anak; tetapi sayang sekali nilai-nilai itu kerapkali tidak sesuai bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtua. Karena itu adalah penting bagi orangtua untuk mengambil sikap kritis terhadap tawaran nilai-nilai yang datang dari luar itu dengan konsisten mengajarkan kepada anak-anak manakah nilai-nilai yang harus diterima dan manakah yang secara tegas harus ditolak. Peranan orangtua sebagai pendamping bagi anak-anak menjadi sangat penting: mendampingi anak-anak dalam memilih bacaan yang sehat serta acara-acara Televisi yang bermanfaat adalah tugas yang tidak bisa diserahkan kepada orang lain, kepada pembantu rumah tangga atau babysitter tetapi harus ditangani sendiri oleh orangtua. Kenyataan menunjukkan banyak anak-anak mengalami kebingungan antara menerima apa yang ”diajarkan” oleh mass media dengan apa yang diajarkan oleh orangtua; kebingungan semacam ini tidak perlu terjadi seandainya orangtua konsisten menjalankan tugasnya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya yang dengan tegas bisa mengatakan: ”Acara TV ini boleh ditonton dan acara itu tidak boleh ditonoton; buku ini boleh dibaca dan buku itu tidak boleh dibaca”.

Menjadi orangtua yang baik tidak berarti menyetujui atau meng-iya-kan apa-apa saja yang diminta atau dikehendaki oleh anak; sebaliknya menjadi orangtua yang baik berarti bisa dan mampu memilah-milah mana hal yang harus diizinkan untuk dilakukan (ditonton, dibaca, didengar, disaksikan) oleh anak dan manakah hal yang tidak boleh dilakukan. Kecenderungan atau trend yang muncul sekarang di kalangan orangtua adalah membiarkan anak-anak melakukan apa saja asalkan itu menyenangkan anak kalaupun itu berarti mengganggu ketenangan banyak orang; maka tidak mengherankan menyaksikan prilaku anak-anak di gereja yang ribut, lari ke sana kemari seolah-olah gereja itu menjadi arena permainan dan orangtua dengan bangga menyaksikan kenakalan anak-anaknya tanpa mengambil tindakan apa pun; dengan bersikap demikian ia merasa sudah menjadi orangtua yang baik.

  1. Nilai-Nilai Kearifan yang perlu diajarkan

Di samping nilai-nilai tersebut diatas, orangtua pun perlu mengajarkan nilai-nilai lain seperti: nilai kesederhanaan, sikap ugahari – sikap yang sederhana, tidak mengagungkan harta benda, tetapi menggunakan harta benda sebagai sarana untuk memperkembangkan hidup; manusia lebih bernilai dari barang atau materi karena ia diciptakan secitra dengan Allah. Pemahaman ini perlu ditekankan dalam dunia modern yang semakin materialistis dimana manusia dinilai dari apa yang ia miliki, yang dipakai, dari pendidikannya atau pangkatnya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi bahwa manusia dinilai berdasarkan agama, golongan, suku, asal-usulnya.

Iman kita mengajarkan bahwa manusia jauh lebih berharga, bernilai daripada semua harta dan kekayaan duaniawi karena diciptakan dalam citraNya, sehingga kita tidak perlu mendewakan barang atau kedudukan duniawi tetapi melihat dan mempergunakan semuanya itu sebagai sarana untuk kebahagiaan bersama. Berkaitan dengan nilai kesederhanaan, keadilan adalah nilai lain yang terkait langsung dengan kesederhanaan. Perpecahan, konflik, sentimen pribadi atau kelompok sering muncul akibat langsung dari ketidakadilan. Orang merasa hak dan martabatnya sebagai manusia tidak diakui atau dihormati sebagaimana seharusnya; dengan kata lain, terjadi pelecehan berkaitaan dengan hak dan harga diri yang akhirnya bermuara kepada konflik baik yang bersifat vertikal maupun horisontal.

Fakta atau bukti-bukti cukup kuat menunjukkan ketika keserakahan muncul – lawan dari kesederhanaan – maka akan muncul pula ketidakadilan. Orang yang bersikap serakah adalah orang yang mau menguasai orang lain, mau merampas hak dan milik orang lain bahkan kalau perlu dengan menggunakan berbagai macam cara yang digolongkan sebagai melawan keadilan dengan satu tujuan: menguasai hak dan milik orang lain. Bagi mereka berlakulah prinsip: ”Kebahagiaan hidup tergantung pada harta benda. Makin banyak harta yang dimiliki berarti makin bahagialah seseorang”.

Pemahaman semacam inilah yang perlu dikoreksi dengan menanamkan nilai keadilan dan kesederhanaan dalam diri anak-anak. Anak-anak perlu diajar untuk bersikap ugahari, hidup sederhana dan hormat terhadap hak dan milik orang lain; disamping itu anak-anak juga perlu dijarkan nilai-nilai moral yaitu seperangkat nilai yang pada dasarnya memberikan kerangka atau acuan kepada mereka mengenai hal-hal yang baik, benar yang seharusnya dilakukan/diusahakan dan hal-hal yang buruk, salah, jahat yang harus dihindarkan; di sinilah peranan orangtua sebagai pendidik menjadi penting!

  1. Pentingnya Nilai Iman

Selain nilai-nilai yang telah disebutkan diatas, nilai penting lainnya yang perlu diajarkan oleh orangtua kepada anak-anak adalah nilai iman/religius. Orangtua dengan keyakinan yang mantap mau menularkan iman yang sama kepada anak-anaknya agar mereka berada dalam rangkulan rohani yang sama seperti orangtua mereka. Karena itu, Gereja menganjurkan agar orangtua sejak dini sudah memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak dengan menanamkan keutamaan-keutamaan religius kepada mereka: rasa tertarik dan cinta kepada Tuhan, rasa sayang kepada mahluk ciptaanNya dan menumbuhkembangkan kebiasaan berdoa.

Dalam Hukum Gereja Kanon 867 § 1 orangtua diwajibkan agar mengusahakan pembaptisan anak-anaknya dalam minggu-minggu pertama sejak kelahirannya. Hal ini mau mengatakan bahwa tugas meneruskan iman dan nilai-nilai religius adalah tugas penting yang harus dilaksanakan oleh orangtua tanpa harus menunda-nunda; saking pentingnya tugas itu maka Gereja mewajibkan supaya orangtua membaptiskan anak-anak (memperkenalkan Kristus) secepat mungkin, sehingga anak-anak sejak usia masih dini sudah berada dalam rengkuhan iman yang sama seperti orangtua mereka.

Penanaman nilai-nilai iman ini menjadi penting karena kita mau agar anak-anak tidak hanya sekadar menjadi orang yang beragama – sekadar mengaku diri menjadi pemeluk salah satu agama (agama KTP) – tetapi menjadi orang yang beriman, artinya hidup dan perbuatannya sungguh ditopang dan diwarnai oleh nilai-nilai agama/ajaran agama yang dianutnya, sehingga akan terdapat kesesuaian antara ibadah agama yang dilakukannya dengan kenyataan hidupnya setiap hari. Jangan sampai muncul ungkapan: ”Dia itu orang yang beragama tetapi tidak beriman”; jangan sampai muncul ”orang orang Farisi” zaman sekarang ini yang memahami agama hanya sebatas pada pelaksanaan ritual peribadatan tetapi penghayatannya dalam ungkapan kasih terhadap sesama sangat jauh dari ajaran agama yang seharusnya.

Usaha kita sebagai orangtua untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan pada diri anak-anak akan membawa manfaat dan pengaruh dalam kehidupan bersama asalkan usaha ini sungguh kita jalankan dengan penuh kasih dan kesadaran yang tinggi sebagai tanggungjawab terhadap anak-anak, Gereja dan bangsa.

Oleh:   Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF

You may also like...

1 Response

  1. Susi says:

    Orang tua adalah guru pertama yang diperoleh pada anak mereka, sehingga tanggung jawab pembentukan moral dan iman adalah pada orang tua mereka sendiri. Perlu adanya kesadaran pada setiap orang tua untuk memberikan pendidikan yang terbaik pada anak-anaknya sejak dini dan mencontohkan yang terbaik.

Leave a Reply to Susi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *