PANGGILAN ALLAH DAN JAWABAN MANUSIA

Refleksi Iman Atas Panggilan Hidup Imamat dan Hidup Bhakti Dalam Gereja Dewasa Ini

Pengantar

Tema Hari Minggu Panggilan sedunia, tahun 2009 yang lalu adalah Inisiatif Allah dan Jawaban Manusia. Tema ini segera mengingatkan kita pada nas Kitab Suci yang mengisahkan tentang panggilan para murid. Dikisahkan bahwa Yesus menyuruh Petrus menebar jala, padahal sudah semalaman Petrus menebar jala dan tidak mendapatkan hasil. Petrus akhrinya menanggapi ajakan Yesus untuk menebar jala sekali lagi, walaupun terkesan ada unsur keengganan, mengingat dia adalah seorang nelayan yang “hebat”, sementara Yesus adalah anak seorang tukang kayu yang tentunya tidak memiliki pengalaman memadai sebagai nelayan; namun, ke-engganan itu justrtu membuahkan kegembiraan yang luar biasa. Petrus behasil menangkap ikan dalam jumlah yang banyak, sehingga jalanya mulai koyak. Reaksi yang muncul dari Petrus adalah takjub serta sikap penyesalan yang mendalam atas keangkuhannya. Ia yang merasa hebat, ternyata dihadapan Yesus ia bukanlah apa-apa. Perasaan malu itu diungkapkannya dalam kata-kata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa” (Luk 5, 8).

Pengalaman “indah” itu menjadi titik tolak yang mengawali perjalanan hidup Petrus selanjutnya. Seperti dikisahkan oleh Penginjil Lukas, Petrus bersama dengan teman-temannya (Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus) menghalau perahu mereka ke darat meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikuti Yesus (Luk 5, 11) untuk menjadi penjala manusia (Luk 5, 10). Kisah ini memberikan gambaran yang jelas bahwa Allah yang mengambil inisiatif untuk memanggil dan manusia menjawab panggilan itu secara bebas.  Dalam perspektif ini, dapat dikatakan bahwa panggilan itu adalah sebuah kerjasama antara Allah dan manusia. Manusia ikut bertanggung jawab dalam merealisasikan “rencana” Allah lewat jawaban positif yang diberikannya. Kesadaran bahwa Allah yang mengambil inisiatif, maka jawaban yang diberikan oleh manusia seharusnya bukanlah perasaan takut atau malas, melainkan jawaban yang positif dan optimis, seperti yang diperlihatkan oleh Petrus.

  1. Pengalaman akan Kasih Allah: Dasar Panggilan

Panggilan adalah jawaban atas kasih Allah. Kita dikasihi Allah sebelum kita dijadikan. Digerakkan melulu oleh kasih-Nya yang tak bersyarat, Ia mencipta kita dari ketiadaan untuk masuk ke dalam komunikasi penuh dengan Dia. Kebenaran yang mendalam dari keberadaan kita terletak dalam misteri menakjubkan ini: setiap ciptaan, khususnya manusia, adalah buah pikiran dan tindakan kasih Allah, yaitu kasih yang tanpa batas setia dan kekal. Penemuan realita itulah yang sesungguhnya dan secara mendalam merubah hidup kita.

Santo Agustinus menyebut Alllah Keindahan dan Kasih yang Tertinggi: “Engkau memanggil, Engkau berseru, dan Engkau menembus ketulianku. Engkau memancar, Engkau bersinar, dan menghalau kebutaanku. Engkau menghembuskan keharuman-Mu atas diriku. Aku menghirup dan terengah-engah bagi-Mu. Aku telah mencicipi Engkau, sekarang aku lapar dan haus karena ketagihan. Engkau menyentuh aku, dan aku mendambakan damai-Mu”. (bdk. Benediktus XVI, Pesan pada Hari Panggilan Sedunia thn 2009).

Dengan gambaran itu St. Agustinus berusaha menggambarkan misteri yang tak terlukiskan tentang perjumpaannya dengan kasih Allah yang merubah seluruh kehidupan. Kasih itu tak terbatas dan mendahului kita, menopang kita dan memanggil kita di sepanjang jalan kehidupan. Kasih itu berakar dalam pemberian bebas mutlak dari pihak Allah kepada manusia. Kasih yang demikian besar itu, mendasari setiap panggilan manusia, termasuk panggilan khusus untuk hidup imamat dan hidup bhakti. Hanya mereka yang terasentuh oleh kasih Allah dan mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan akan mampu menanggapi panggilan Allah.

Setiap panggilan khusus lahir dari prakarsa Allah, merupakan pemberian dari Kasih Allah. Dialah yang mengambil langkah pertama. Bukan karena Ia menemukan sesuatu yang indah pada diri kita, tetapi karena kehadiran kasih-Nya sendiri yang “dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus”. Namun keindahan yang menarik dari kasih ilahi yang mendahului dan mengiringi kita, perlu diwartakan terus menerus, terlebih kepada kaum muda. Kasih ilahi itu adalah dorongan tersembunyi, motivasi yang tak pernah gagal, bahkan dalam situasi yang paling sulit”. Itulah kasih tanpa batas, kasih yang mendahului kasih kita, kasih yang menopang dan memanggil kita sepanjang jalan hidup kita, kasih yang berakar dari anugerah bebas Allah.

  1. Inisiatif Allah dan Jawaban Manusia

Panggilan dan jawaban bagai dua sisi mata uang. Sekeping mata uang bernilai karena ada dua sisi, yakni gambar dan angka. Demikian halnya dengan panggilan. Panggilan bernilai jika ada yang memanggil dan ada yang menjawab. Jawaban mengandaikan ada panggilan. Allah memanggil semua orang untuk menjadi kudus. Namun dalam panggilan umum kepada kekudusan itu, Allah memilih serta mengundang beberapa orang secara khusus agar hidup lebih dekat dengan PutraNya, untuk dijadikan pelayan dan saksi-Nya. Sang Guru memanggil para rasul satu persatu untuk menyertai Dia dan untuk diutus memberitakan Injil. Mereka diberi-Nya kuasa untuk mengusir setan (bdk. Luk 5,1-11, Mat 4, 18-22, Mrk 1, 16-20) dan pada gilirannya, mereka memanggil murid-murid lain sebagai rekan setia dalam pelayanan Injil. Maka terjadilah sepanjang sejarah, sejumlah besar orang menanggapi panggilan Yesus dan membuka diri terhadap suara Roh Kudus dengan menjadi imam, biarawan-biarawati dan menjadi pelayan Injil yang utuh dalam Gereja.

Paus Benediktus mengajak kaum beriman mensyukuri rahmat Tuhan ini, meski kita juga perlu menyadari bahwa banyak tempat mengalami kekurangan tenaga, secara khusus pelayan-pelayan tertahbis, dan Gereja menghadapi kesulitan-kesulitan yang luar biasa mengenai hal ini. Kita mengarahkan diri pada penyelenggaraan ilahi yang dengan bebas memilih dan mengundang orang dari pelbagai latar belakang untuk mengikuti-Nya secara khusus. Memang inisiatif panggilan datang dari Allah Sendiri, sedang dari kita dituntut jawaban yang tegas atas panggilan Allah itu.

  1. Panggilan Hidup Bhakti: Anugerah Allah bagi Umat-Nya

Mintalah! (Berdoalah!). Perintah Tuhan untuk berdoa menandakan bahwa doa untuk panggilan harus dilakukan secara terus-menerus dan dengan penuh harapan. Hanya melalui doa, umat kristiani dapat “memiliki iman dan harapan yang semakin besar kepada penyelenggaraan Allah” (Sacramentum Caritatis, no. 26).

Panggilan untuk menjalani hidup Imamat dan Hidup Bakti merupakan anugerah ilahi yang bersifat khusus di dalam rencana kasih dan penyelamatan Allah bagi seluruh umat manusia. Mengenai hal ini, Rasul Paulus menulis kepada umat di Efesus, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Ef 1, 3-4).

Allah memanggil semua orang untuk menjadi kudus. Namun dalam panggilan umum kepada kekudusan itu, Allah mengundang secara khusus dan memilih beberapa orang agar hidup lebih dekat dengan Putra-Nya, Yesus Kristus, untuk dijadikan pelayan dan saksi-Nya. Sang Guru Ilahi memanggil para rasul satu per satu, “untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil dan diberi-Nya kuasa untuk mengusir setan” (Mrk 3, 14-15); dan pada gilirannya mereka memanggil murid-murid yang lain sebagai rekan yang setia dalam pelayanan Injil.

Dengan cara demikian, terjadilah bahwa sepanjang perjalanan waktu, sejumlah orang yang sudah tak terhitung banyaknya, telah menanggapi panggilan Yesus dan membuka diri terhadap dorongan Roh Kudus untuk menjadi imam, biarawan-biarawati dan pelayan Injil seutuhnya dalam Gereja. Melihat kenyataan tersebut, kita patut bersyukur, sebab pada zaman ini pun, Tuhan masih berkenan menghimpun para pekerja untuk kebun anggur-Nya. Harus kita akui, bahwa daerah-daerah tertentu di dunia ini mengalami kekurangan tenaga imam yang cukup memprihatinkan, dan aneka ragam rintangan yang menghadang Gereja. Namun kita diteguhkan oleh keyakinan bahwa yang memimpin Gereja adalah Dia, Tuhan, dan Dia mengantar Gereja menuju kepenuhan Kerajaan Allah. Dialah juga yang dengan bebas memilih dan mengajak manusia dari pelbagai budaya dan usia untuk mengikuti-Nya. Ini merupakan rahasia cinta kasih-Nya yang tak terselami.

  1. Ekaristi: Wujud kongkret Inisatif Allah dan Jawaban Manusia

Katekismus Gereja Katolik (KGK) dengan tepat mengingatkan bahwa prakarsa bebas dari Allah membutuhkan tanggapan bebas dari pihak manusia. Jawaban manusia yang positif terhadap inisiatif Allah yang memanggil, mengandaikan kesadaran manusia akan rencana Allah bagi setiap orang dan jawaban manusia atas prakarsa kasih Tuhan. Kemudian tanggapan itu bertumbuh dan berkembang hingga menjadi suatu kewajiban moral, dan suatu persembahan penuh syukur kepada Allah yang memanggil demi pelaksanaan rencana-Nya dalam sejarah manusia (bdk. KGK, no. 2062).

Melalui misteri Ekaristi, kita memahami prakarsa Allah yang memanggil dan membentuk jawaban manusia, sebab Ekaristi, pada satu pihak, menyatakan puncak inisiatif Allah Bapa yang menganugerahkan Putra-Nya demi keselamatan manusia, dan di pihak lain merupakan puncak dari sikap kepatuhan dan kerelaan penuh dari Yesus untuk minum ‘piala’ kehendak Allah Bapa (Mat 26, 39). Ekaristi adalah anugerah sempurna yang mewujudkan rencana kasih Allah bagi manusia sebab dalam Ekaristi, Yesus mempersembahkan diri-Nya secara bebas demi keselamatan umat manusia.

Berkaitan dengan hal tersebut, Paus Yohanes Paulus II menulis, “Gereja telah menerima Ekaristi dari Kristus, Tuhannya, bukan sebagai salah satu dari sekian banyak pemberian, betapa pun berharganya, melainkan sebagai anugerah unggulan, sebab merupakan penyerahan diri, pribadi-Nya sendiri dari kemanusiaan-Nya yang suci, di samping sebagai hadiah karya penyelamatan-Nya” (Ecclesia de Eucharistia, no. 11). Para imam telah dikaruniai tugas perutusan untuk mempersembahkan Ekaristi sepanjang zaman sebagai misteri penyelamatan sampai Tuhan datang kembali dalam kemuliaan-Nya.

Dalam Ekaristi para imam dapat menghadirkan contoh unggul suatu “dialog panggilan” antara inisiatif bebas dari Allah Bapa dan jawaban Yesus, yang dengan penuh kepercayaan menyerahkan seluruh diri kepada kehendak Bapa-Nya. Dalam Perayaan Ekaristi itu, Kristus sendiri hadir dalam diri mereka yang Dia pilih sebagai pelayan-pelayan-Nya. Dia meneguhkan mereka agar jawaban mereka bertumbuh menjadi penyerahan dan ucapan syukur yang melenyapkan rasa takut, terutama ketika pengalaman negatif rasa takut menjadi sekian besar (bdk. Rm 8, 26-30), atau ketika mereka tidak dimengerti, bahkan ketika menghadapi penganiayaan (bdk. Rm 8, 35-39).

  1. Ekaristi: Penyerahan Diri dan Pelaksanaan Rencana Allah.

            Setiap Perayaan Ekaristi membangkitkan kesadaran dalam hati kaum beriman, terutama dalam hati para imam bahwa mereka diselamatkan oleh kasih Kristus, oleh karena itu, mereka memenuhi hati dengan ketaatan Kristus, yang telah menyerahkan diri bagi kita. Percaya kepada Tuhan dan membuka hati untuk menerima anugerah-Nya, mendorong kita menyerahkan diri kepada-Nya dengan penuh syukur sambil ikut mengambil bagian pada rencana penyelamatan. Kalau pengalaman itu terjadi, maka ‘orang yang terpanggil’ dengan sukarela meninggalkan segalanya dan mengikut Sang Guru Ilahi, dan terjadilah dialog kasih yang mendalam antara Allah dan manusia, suatu perjumpaan yang penuh misteri antara kasih Tuhan dan kebebasan manusia, sehingga manusia menjawab dengan penuh rasa syukur, sambil mengingat sabda Yesus, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15, 16).

            Pengalaman kasih yang timbal balik itu, antara inisiatif Allah dan tanggapan manusia, menjadi nyata dan secara mengagumkan terwujud dalam panggilan untuk Imamat dan Hidup Bakti. Nasihat-nasihat Injil tentang kemurnian yang dipersembahkan kepada Allah, kemiskinan dan ketaatan yang didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan Yesus dan diwariskan oleh para Rasul, para Bapa Gereja, para Pengajar Iman serta Gembala Gereja adalah wujud kongkret dari kesediaan manusia yang telah mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan untuk rela meninggalkan semuanya itu demi mengikuti panggilan Tuhan. Maka nasihat-nasihat Injil itu merupakan karunia ilahi, yang oleh Gereja diterima dari Tuhannya dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat-Nya (Lumen Gentium, no. 43). Sekali lagi, Yesus adalah teladan penyerahan total penuh pasrah kepada kehendak Bapa. Kepada-Nyalah hati setiap orang yang menjalani hidup Imamat dan Hidup Bakti harus diarahkan. Sejak awal masa Kekristenan, banyak lelaki dan perempuan telah meninggalkan keluarga, harta milik, segala kepunyaan dan cita-cita pribadinya karena tertarik oleh Yesus, dan mau mengikut Yesus dengan sepenuh hati melalui penghayatan Injil tanpa kompromi. Nasihat Injil itu bagi mereka menjadi pedoman atau tuntunan untuk menghayati hidup suci secara radikal.

  1. Kesempurnaan Hidup dan Nasihat Injili

Dewasa ini pun banyak orang mengambil jalan hidup menurut kesempurnaan Injili yang penuh tuntutan dan mewujudkan panggilan mereka dengan mengikrarkan nasihat-nasihat Injilili. Kesaksian semua saudara-saudari kita itu, baik yang hidup dalam biara kontemplatif maupun dalam lembaga-lembaga dan kongregasi-kongregasi yang aktif dalam kerasulan, menyatakan kepada seluruh umat Allah “misteri kerajaan Allah yang tetap berkarya dalam sejarah manusia, sambil menantikan kepenuhannya di surga” (Vita Consecrata, no. 1).

Siapakah yang merasa pantas menjadi imam? Siapakah yang dapat menjalankan cara Hidup Bakti hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri? Kalau kita sadar bahwa Allah yang pertama mengambil inisiatif dan Dia yang akan menyelesaikan rencana penyelamatan, maka jawaban manusia tidak akan berupa perasaan takut, seperti hamba yang malas yang karena ketakutan menguburkan talenta dalam tanah (bdk. Mat 25, 14-30). Sebaliknya, dengan segera ia memenuhi panggilan Tuhan, seperti Petrus yang tanpa ragu-ragu menebarkan jala sekali lagi dengan mengandalkan sabda-Nya, sekali pun sepanjang malam ia telah bekerja keras dan tidak menangkap apa-apa (Luk 5, 5). Itu tidak berarti melepaskan tanggung jawab pribadi; sebaliknya, jawaban bebas manusia kepada Allah merupakan suatu kerja sama, artiya, bahwa manusia turut bertanggung jawab dalam Kristus dan bersama Kristus, dan berkat penguatan dari Roh Kristus, jawaban bebas manusia itu dijalani dalam persatuan dengan Dia yang memampukan kita menghasilkan banyak buah (bdk. Yoh 15, 5).

  1. Jawaban “Ya” Maria adalah “Pelayanan” terhadap Rencana Allah

Satu contoh jawaban yang paling tepat terhadap prakarsa panggilan dari Allah adalah “Amin” “Jadilah” yang diucapkan Perawan Maria dari Nazaret. Suatu keputusan yang bulat sekaligus penuh kerendahan hati untuk mengambil bagian pada rencana Allah yang disampaikan kepadanya oleh utusan surgawi (Luk 1, 38). Berkat jawaban ‘ya’-nya itu, Ia telah menjadi Bunda Allah, Bunda Penebus kita. Jawaban ‘ya’ yang pertama itu kemudian disusul oleh banyak jawaban ‘ya’ lainnya dan kemudian berpuncak pada jawaban ‘ya’ ketika Maria “berdiri’ di bawah kaki salib Yesus” sebagaimana dicatat oleh Penginjil Yohanes. Di situ Maria menjadi ‘peserta” dalam penderitaan Putranya yang tak berdosa itu. Dari salib itulah, Yesus, menjelang wafat-Nya, menganugerahkan Maria menjadi Bunda kita, dan kepadanyalah Yesus mempercayakan kita sebagai putra-putrinya (bdk. Yoh 19:26-27), terutama sebagai Bunda para imam dan biarawan-biarawati. Kepada Bunda Maria pulalah kita ingin mempercayakan semua orang yang merasa terpanggil oleh Allah dalam menjalani hidup Imamat atau Hidup Bakti.

Jawaban Maria atas kasih Ilahi yang tunggal ini hendaknya dijadikan sebagai pola bagi mereka yang terpanggil menjalani panggilan imamat dan hidup hidup bhakti. Jawaban itu haruslah dihayati dengan intensitas khusus dan dengan kemurnian hati untuk menapaki jalan pemurnian panggilan imamat dan hidup bakti; keduanya merupakan unsur yang sangat penting. Kasih kepada Allah – dimana para imam dan kaum religius dipanggil untuk memantulkannya, betapapun tidak sempurna – adalah motivasi untuk menjawab panggilan Allah demi pengudusan hidup, secara khusus melalui tahbisan imamat atau pengikraran nasihat-nasihat Injili dan jawaban Petrus (yang mewaki jawaban manusia) yang berapi-api kepada Sang Guru: Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau (Yoh 21, 15), merupakan rahasia pemberian diri secara total dan dihayati sepenuhnya, maka dia amat bahagia dengan cara hidup demikian.

Kasih yang demikian itu, pada gilirannya harus diejawantahkan dalam praksis hidup sehari-hari. Pengejawantahan praktis-aktual kasih itu terhadap sesama, khususnya terhadap  mereka yang menderita dan berkekurangan, adalah dorongan yang sangat menentukan, yang menjadikan para imam dan para religius sebagai sosok pembangun persekutuan antara umat dan sang penabur harapan. Relasi antara kaum religius, khususnya antara para imam, dengan komunitas kristiani adalah penting dan menjadi salah satu aspek fundamental dari kasih-sayang mereka. Pastor Yohanes Maria Vianney dari Ars senang dengan ungkapan:“Imam-imam bukanlah imam-imam bagi dirinya sendiri, melainkan bagi kalian semua – jemaat kristiani” (Le curé d’Ars. Sa pensée – Son cœur, Foi Vivante, 1966, p. 100).

 Khusus bicara tentang pelayanan imamat sebagai perwujudan kasih Allah itu, Yohanes Paulus II menegaskan bahwa “Setiap tindakan pelayanan, yang menghantar pada cinta dan pelayanan Gereja, harus mendorong untuk semakin menumbuhkan kasih dan pelayanan kepada Yesus Kristus sebagai Kepala, Gembala dan Mempelai Gereja, suatu kasih yang selalu menjadi suatu jawaban atas Kasih Allah yang bebas dan cuma-cuma dalam diri Yesus Kristus” (Pastores Dabo Vobis, no. 25). Itulah sebabnya, setiap ‘panggilan khusus’ lahir dari prakarsa/inisiatif Allah: inilah anugerah Kasih Allah! Allah-lah yang mengambil “langkah pertama”, bukan karena Dia telah menemukan sesuatu yang baik dari diri kita, melainkan melulu karena kasih-Nya sendiri yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus (Rm 5, 5).

  1. Peranan Keluarga dan Komunitas dalam Menumbuhkan Panggilan

Tugas untuk mendorong panggilan adalah menyediakan bimbingan dan panduan yang dapat membantu mereka yang merasa terpanggil untuk menapaki jalan panggilan yang khusus. Yang utama dari tugas ini adalah menumbuhkan kecintaan akan Firman Allah yang dihidupi dengan cara menumbuhkan sikap akrab dengan Kitab Suci, dengan doa yang terus-menerus dan penuh perhatian, baik secara pribadi maupun dalam kelompok. Semua ini akan memungkinkan untuk mendengarkan panggilan Tuhan di antara aneka suara panggilan hidup sehari-hari.

Hal yang lebih penting di antara semua itu adalah sakramen Ekaristi yang harus menjadi pusat dari setiap perjalanan panggilan. Disinilah kasih Allah menyentuh kita dalam kurban Yesus Kristus, yang menjadi ungkapan sempurna cinta kasih Allah. Dalam perayaan ekaristi, kita belajar terus menerus menghayati “takaran kesempurnaan” kasih Allah kepada manusia, yang pada akhirnya menggerakkan manusia untuk menanggapai panggilan khusus itu. Firman Allah, doa dan Ekaristi merupakan harta karun yang berharga untuk memampukan kita memahami keindahan yang memesona dari sebuah kehidupan yang seutuhnya dibaktikan demi pelayanan  Kerajaan Allah.

Berbagai kelompok menjadi tempat untuk pemurnian otentisitas aneka panggilan dan menjadi tempat bagi kaum muda untuk memperoleh pendampingan rohani yang serius dan bijaksana. Dengan cara ini, suatu komunitas kristiani ikut ambil bagian dan ikut bertanggungjawab dalam menumbuhkan panggilan diantara kaum muda. Jawaban atas tuntutan Yesus mengenai perlunya berdoa dan memohon pekerja-pekerja bagi panenannya yang luas, menemukan jawabannya yang unik dan mengesankan di dalam keluarga -keluarga kristiani, dimana kasih keluarga merupakan ungkapan kasih Kristus yang telah memberikan diri-Nya bagi Gereja-Nya (bdk. Ef 5, 32).

Di dalam keluarga, yang merupakan “sebuah komunitas kehidupan dan kasih” (Gaudium et Spes, no. 48), kaum muda dapat menimba pengalaman yang luar biasa tentang apa artinya kasih yang memberikan diri. Dengan demikian, keluarga-keluarga tidak hanya menjadi tempat istimewa untuk membentuk jati diri manusiawi dan kristiani, tetapi juga menjadi “lahan penyemaian benih-benih panggilan yang utama dan terbaik bagi hidup yang dibaktikan demi Kerajaan Allah” (Familiaris Consortio, no. 53), dengan membantu anggota-anggotanya melihat secara tepat di dalam keluarga itu sendiri, keindahan dan pentingnya imamat dan hidup bakti. Para imam dan seluruh kaum beriman awam hendaknya selalu bekerja sama, agar di dalam Gereja semakin berlipat-ganda “rumah-rumah dan sekolah-sekolah persekutuan” yang menjadi cerminan harmonis persekutuan Tritunggal Mahakudus di dunia ini, seturut teladan Keluarga Kudus Nazaret.

PENUTUP

            Setiap orang diantara kita dipanggil Tuhan untuk hidup, untuk menjadi seperti Kristus dengan suatu perjalanan tertentu, menuju kesucian diri dalam kebersamaan dengan orang lain; untuk tinggal berada dalam suatu komunitas, yakni Gereja. Dalam kesemuanya itu, dan secara khusus, panggilan hidup Imamat dan hidup Bhakti, menemukan inisiatornya pada Allah sebagai pihak yang berinisiatif memanggil. Dia yang memanggil lebih dahulu. Maka secara istimewa, panggilan setiap orang berasal dari karya Allah terhadap masing-masing pribadi. Namun, cinta Allah yang demikian besar itu menghendaki suatu jawaban cinta yang besar pula dari pihak manusia. Tanpa jawaban bebas dari pihak manusia, maka panggilan Allah itu tidak akan terwujud.

Jawaban bebas dari pihak manusia menjadi unsur penting dalam perwujudan panggilan itu. Oleh karena itu, dari pihak manusia dituntut adanya keterbukaan hati dalam menjawab panggilan Allah itu. Keterbukaan itu berarti kesediaan untuk menerima, menjalani dan menghayati panggilan itu dalam kesetiaan yang dibarengi dengan perjuangan yang kerapkali tidak mudah dan enak dan yang menuntut pengorbanan. Namun, hanya dalam kesetiaan, manusia akan mampu menjawab panggilan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Benarlah ungkapan Beata Theresia dari Calcuta: ”kita dipanggil bukan untuk sukses, tetapi untuk setia”. Demikianlah, panggilan terpenuhi ketika manusia menempatkan diri dalam dialog dengan Allah, berusaha memahami apa yang dikehendaki-Nya, dan memenuhi rencana Bapa yang diperuntukkan baginya.

Oleh: Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *