KELUARGA SEBAGAI RASUL BAGI KELUARGA-KELUARGA LAINNYA

Pengantar

Tugas utama para orang tua Kristiani adalah mendidik anak-anak mereka dalam ajaran-ajaran dasar iman Katolik dan memberi suri teladan kepada mereka sebagai bukti kesaksian Kristiani. Dalam kaitan dengan ini adalah penting menekankan peran orangtua/keluarga Kristiani dalam menyebarluaskan ajaran iman Kristiani/Injil pertama-tama kepada keluarganya sendiri, kepada keluarga-keluarga lain dan akhirnya kepada masyarakat luas. Keluarga-keluarga Kristiani dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi Rasul: mewartakan Injil kepada orang-orang lain. Tugas mewartakan injil bukan hanya tugas yang dibebankan kepada para Imam, Katekis atau Kaum Berjubah tetapi adalah tugas dari setiap orang Kristen (bdk. Mrk 16, 15-16). ”Pergilah dan jadikanlah setiap bangsa muridKu” (Mat 28, 19). Setiap orang yang dibaptis, termasuk keluarga-keluarga dipanggil untuk menjadi rasul bagi keluarga-keluarga lain sebagai wujud kongkret dari imannya akan Yesus. Tugas pewartaan Injil adalah tugas yang melekat dalam setiap murid Kristus, bahkan harus dikatakan sebagai suatu keharusan seperti yang dihayati oleh St Paulus: ”Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (I Kor 9, 16).

  1. Mewartakan Injil: Tugas Murid Yesus

”…pergilah jadikanlah semua bangsa murid-muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Sabda Tuhan ini menyapa semua orang yang disebut sebagai murid Yesus untuk mewartakan injil. Dengan sangat jelas dikisahkan dalam Injil Markus maupun Matius bahwa Tuhan Yesus memerintahkan para murid untuk mewartakan injil dengan ungkapan: ”…pergilah jadikanklah semua bangsa muridKu… Pergilah ke seluruh dunia beritakanlah injil kepada segala mahluk”. Perintah Tuhan Yesus tidak menunjuk secara spesifik kelompok atau orang tertentu yang ditugaskan untuk mewartakan injil tetapi pertintah ini bersifat umum, artinya ditujukan kepada siapa saja yang menyebut diri sebagai murid Yesus. Setiap orang yang menyebut diri sebagai murid Yesus terikat kewajiban untuk mewartakan injil tanpa kecuali. Mewartakan injil menjadi suatu keharusan, suatu tugas yang mengikat setiap murid Yesus seperti diungkapkan oleh St Paulus: ”Sebab, itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil”

Gereja, yaitu kita semua yang adalah murid-murid Yesus Kristus diutus untuk mewartakan Injil. Gereja ada karena pemberitaan injil, artinya Gereja adalah buah pewartaan injil dari para Rasul yang kemudian diteruskan oleh para penggantinya. Sebagai buah pewartaan, pada gilirannya Gereja harus menjadi pewarta bagi umat manusia zaman sekarang ini; Gereja harus mewartakan karena Gereja ada untuk tugas pewartaan; dengan kata lain, Gereja ada karena pewartaan dan Gereja ada untuk pewartaan. Inilah semboyan yang seharusnya meresap dalam hati setiap murid Yesus: menjadi murid Yesus – menjadi anggota Gereja berarti menjadi pewarta injil. Kita lebih dahulu telah menerima pewartaan injil dan pada gilirannya kita sekarang diutus untuk mewartakan injil. Siapa Gereja itu? Gereja adalah kita semua, semua yang menyebut diri murid Yesus – yang dibaptis dalam namaNya adalah Gereja; karena itu tugas mewartakan injil adalah tugas untuk semua anggota Gereja: kaum berjubah (Imam, Bruder, Suster) dan kaum awam semuanya. Dalam pengertian inilah peranan keluarga sebagai Rasul bagi keluarga-keluarga lain harus dipahami. Paulus VI dalam Ensikliknya Evangelii Nuntiandi mengenai peranan keluarga sebagai pewarta mengatakan: ”Keluarga, seperti Gereja harus menjadi tempat injil diwartakan dan tempat injil memancarkan sinarnya. Dalam keluarga yang menyadari misi itu, semua anggota mewartakan dan menerima pewartaan injil. Orangtua tidak sekedar menyampaikan injil kepada anak-anak mereka, melainkan juga dari anak-anak mereka sendiri, mereka dapat menerima injil yang sama itu juga dalam bentuk penghayatan mereka yang mendalam. Dan keluarga seperti itu menjadi pewarta injil bagi banyak keluarga lain dan bagi lingkungan kediamannya” (Evangelii Nuntiandi 71). Sedangkan Johanes Paulus II menegaskan mengenai peranan keluarga dengan menyebut bahwa ”Masa depan pewartaan injil sebagian besar tergantung dari Gereja Rumah Tangga” (FC 52). Lebih lanjut, Johanes Paulus II menyebutkan peranan keluarga sebagai pewarta injil dengan menunjuk kepada situasi khusus dimana pembinaaan iman/ pengajaran agama Katolik secara publik tidak mungkin, maka dalam situasi semacam itu keluarga sungguh harus tampil sebagai pewarta iman bagi anak-anak.”Keperluan akan katekese keluarga muncul berkaitan dengan situasi khusus yang sayang sekali dialami oleh Gereja di beberapa tempat yang berbeda. Di tempat dimana undang-undang atau peraturan-peraturan pemerintah bersifat anti agama atau bahkan yang melarang pengajaran agama atau di tempat dimana sikap ketidak percayaan kepada Tuhan atau sekularisasi sudah demikian menyebar luas sehingga tidak memungkinkan bagi pertumbuhan iman; ”Gereja Rumah Tangga” menjadi satu-satunya tempat dimana anak-anak dan generasi muda dapat menerima katekese yang otentik” (FC 52).

  1.  Peran Keluarga sebagai Pewarta

Dalam amanatnya kepada Konferensi para Uskup Amerika Latin di Puebla, 28 Januari 1979, Johanes Paulus II dengan tegas menandaskan bahwa masa depan pewartaan Gereja sebagian besar tergantung pada keluarga – gereja domestik. Apa yang dikatakan oleh Johanes Paulus II diatas jelas kiranya mendapatkan legitimasinya. Di satu pihak, harus diakui bahwa jumlah kaum tertahbis yang selama ini menjadi ”pelaku dan pemeran” utama karya pewartaan di masa lalu bahkan sampai sekarang, semakin menurun drastis, sementara di lain pihak jumlah umat (kuantitas) semakin bertambah. Munculnya daerah-daerah misi yang baru sebagai akibat runtuhnya komunis Rusia membuka peluang bagi karya pewartaan di daerah-daerah eks komunis itu. Untuk itu diperlukan pewarta-pewarta yang siap untuk diutus ke daerah-daerah itu. Selain itu, pertambahan jumlah umat juga terjadi melalui pertobatan di daerah-daerah yang sudah lama dikenal sebagai daerah misi. Pertambahan ini membawa konsekuensi yang tidak ringan bagi Gererja, yakni perlunya menyediakan tenaga-tenaga yang siap pakai untuk melayani dan ”merawat” umat.

Dengan melihat peta/situasi Gereja dewasa ini seperti yang disebutkan diatas: di satu pihak jumlah pewarta tertahbis semakin berkurang sementara jumlah umat makin meningkat maka peranan keluarga-keluarga semakin penting, artinya bahwa kaum awam/ keluarga sudah saatnya harus mengubah pola pikir bukan lagi sebagai pemeran pasif yang hanya menerima pewartaan, tetapi pemeran aktif, sebagai aktor – pemeran utama dalam karya pewartaan Gereja yang mewartakan injil kepada keluarga-keluarga lain. Misi pewartaan keluarga ini berakar dalam sakramen pembaptisan dan menerima kekuatan baru dari sakramen perkawinan untuk menyebarluaskan iman, menguduskan dan mengubah masyarakat kita sesuai dengan rencana Tuhan.

  1. Keluarga sebagai Tulang Punggung Jemaat

Kalau saja kita mau menengok ke belakang – merunut kembali sejarah iman kita, kita akan mendapatkan fakta yang sangat jelas dan transparan mengenai peranan keluarga-keluarga dalam karya pewartaan awal Gereja. Keluarga-keluarga tampil sebagai ”tulang punggung” karya pewartaan yang sungguh berperan secara aktif, ikut ambil bagian secara nyata dalam karya pewartaan Gereja. Peranan keluarga-keluarga Kristiani pada masa itu semakin mengemuka mengingat jumlah Pewarta profesional seperti St Paulus dkk sangat terbatas, sehingga tidak memungkinkan untuk ”menjangkau” jumlah umat yang semakin bertambah dan tersebar di banyak tempat. Melalui kesaksian hidup kristiani yang baik di tengah-tengah masyarakat, penerusan dan pemeliharaan iman dalam lingkup keluarga masing-masing; melalui cara-cara semacam itu, secara kongkrit keluarga-keluarga telah ikut ambil bagian dalam karya pewartaan.

Kaum awam/mereka yang berkeluarga selama tiga abad pertama Kekristenan menjadi penyalur utama iman dan tradisi Kristen serta penyebar Injil dan penganjur Evangelisasi. Hal ini tentu bisa dimengerti mengingat situasi dimana jumlah „missionaris profesional“, seperti Paulus sangat langka. Suatu lembaga atau organisasi „missioner“ mirip dengan tarekat-tarekat kaum religius seperti yang ada sejak abad ke XVI belum ada dan belum terpikirkan pada waktu itu. Maka dalam situasi seperti itu, kaum awam sungguh tampil di garda depan, sebagai missionaris sejati. Di samping para awam ada juga sekolompok orang yang juga mempunyai perhatian khusus terhadap Kekristenan yang bertugas secara khusus untuk membela Kekristenan terhadap kritik yang dilontarkan oleh para cendekiawan kafir serta rasa curiga negara ataupun pengecam kekristenan. Mereka bukanlah missionaris seperti halnya kaum awam, tetapi adalah „Apologet“, Pembela dan Penjaga ajaran Iman Kristen yang benar.

Dalam surat-surat „katolik“ (7 karangan yang agaknya muncul menjelang akhir abad I dan tercantum dalam Perjanjian Baru: surat Yakobus, surat Petrus pertama dan kedua, surat Yohanes pertama, kedua dan ketiga dan surat Yudas) tidak nampak lagi semangat/spirit missioner agresif yang menggerakkan santo Paulus dalam misinya mewartakan Injil. Jemaat-jemaat yang dituju oleh 7 karangan tersebut diatas mengalami kesulitan baik yang sifatnya internal maupun external. Diskriminasi, fitnahan, gangguan dalam menghayati dan mewujudkan imannya adalah fakta yang sangat jelas menunjukkan bagaimana umat mengalami situasi external yang tidak akomodatif terhadap kehadiran mereka. Dalam situasi yang demikian itu ke 7 surat/karangan „katolik“ itu bermaksud untuk mendorong umat agar mereka berani memberikan kesaksian tentang injil, menyebarkannya serta meresapkannya ke dalam kebudayaan melalui cara hidup Kristen sambil mempertahankan jati dirinya sebagai orang dan jemaat Kristen. Sejumlah teks Kitab Suci dapat memberikan informasi mengenai hal ini, misalnya: I Ptr 2, 9.12.15.17; 3,1-2.9.13-16; 4,4.5.15-16. Surat-surat Pastoral (1 dan 2 Timotius, Titus) tentu saja tahu akan Paulus, sang missionaris (1Tim 2,7; 2 Tim 2,9), tetapi tidak ditemukan suatu anjuran untuk meneruskan karya missioner dengan cara seperti yang telah dibuat oleh Paulus. Apa yang ditemukan adalah anjuran untuk membina jemaat menjadi semacam „mercu suar“ yang memancarkan Injil ke dalam masyarakat sekitarnya.

I Tim 3, 15-16 memakai suatu gambaran yang bagus. Jemaat Kristen disebut “rumah/keluarga Allah”. Rumah/keluarga Allah itu dibandingkan dengan suatu tugu tinggi (tiang) yang bertumpu pada suatu landasan yang lebar dan kokoh kuat. Pada landasan itu – menurut 2 Tim 2,19 – terpahat suratan : „Tuhan Yesus mengenal siapa kepunyaanNya“ dan „Setiap orang (orang Kristen) yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan“. Di puncak tugu itu bertenggerlah „Kebenaran“, ialah Injil yang diringkas dalam 1 Tim 3, 16. Dengan demikian jemaat Kristen merupakan semacam mercu suar serentak kenisah Allah yang dengan Injil bagai lampu sorot menyinari masyarakat dan menarik orang luar utuk bergabung dengan Kristus (bdk Yoh 12, 32) dan dengan paguyuban Kristen sama seperti jemaat Perdana di Yerusalem yang digambarkan dalam Kis 2, 46-47. Tentu saja agar dapat bertahan sebagai mercu suar jemaat harus mempertahankan dan memperkokoh identitasnya sebagai jemaat Kristen (1 Tim 6,3-4.20; 2 Tim 1, 13-14; 2,2; 4,14; Tit 2,9 dst) agar berdampak dalam masyarakat. Tampak dengan jelas bagaimana dengan gaya hidupnya jemaat mempengaruhi masyarakat.

Meskipun surat-surat Katolik dan surat-surat Pastoral tersebut tahu akan adanya petugas jemaat, namun jemaat yang menjadi mercu suar itu terbentuk oleh kaum awam yang berkeluarga. Kebudayaan Yunani-Romawi di zaman Perjanjian Baru berpusat pada kota dan kota berpusatkan keluarga besar terkemuka. Demikian juga kekristenan di zaman Yunani-Romawi (sampai abad V) berpusatkan kota. Selama kekristenan merupakan minoritas dan dicurigai dalam masyarakat, jemaat-jemaat Kristen pun berpusatkan pada keluarga (terkemuka), artinya jemaat-jemaat yang tidak mempunyai bangunan „gereja“ dan fasilitas lainnya terorganisasikan di sekitar salah satu keluarga (besar) terkemuka yang mempunyai rumah besar dan mampu menyediakan fasilitas lain yang perlu. Apa yang dikatakan dalam 1 Kor 11, 17dst tentang jemaat (mungkin beberapa jemaat) yang berkumpul di satu tempat (bdk ay 20) untuk mengadakan perjamuan Tuhan mempunyai latar belakang semacam ini. Seluruh jemaat Kristen di kota Korintus datang berkumpul di rumah seorang anggota terkemuka (dan kaya) yang mempunyai rumah cukup besar untuk menampung segenap umat serta mampu menyediakan apa yang perlu untuk kepentingan ibadat termasuk makanan dan minuman. Paulus mengecam jemaat oleh karena dalam pertemuan itu nampak adanya perbedaan dan diskriminasi sosial (kaya-miskin, merdeka-budak dan sebagainya). Karena itu ia menyuruh agar acara makan-minum (pesta) dihentikan. Perbedaan dan diskriminasi semacam itu tidak sesuai dengan acara inti pertemuan, yakni perjamuan Tuhan.

Beberapa kali dalam Perjanjian Baru ditemukan ungkapan „jemaat di rumah orang tertentu“ (Rm 16,5; 1Kor 16,19; Kol 4,15; Flm 2). Terjemahan Latin mengalihbahasakan ungkapan itu dengan „ecclesia domestica“ (gereja rumah). Dari situ berasallah pandangan (yang sebenarnya tidak tepat) bahwa suatu keluarga Kristen menjadi suatu „gereja kecil“ (ecclesiola). Gereja besar atau kecil pertama-tama berdasarkan pada iman, dibangun oleh iman dan bukan pada hubungan antar manusia. Konsili Vatikan II dan khususnya Paus Yohanes Paulus II suka memakai istilah „keluarga sebagai gereja kecil“.

Yang dimaksudkan oleh Perjanjian Baru dengan ungkapan tersebut adalah jemaat setempat yang kurang lebih besar, berkumpul di rumah/anggota keluarga yang terkemuka dan berada. Keluarga besar itulah yang menjadi pusat dan poros seluruh jemaat itu. Tuan rumah kiranya bertindak kurang lebih sebagai pemimpin perkumpulan jemaat itu. Filemon 2 paling jelas mengungkapkan soal ini. Demikian juga dalam Perjanjian Baru beberapa kali tercatat statement „salah seorang dengan seisi rumahnya menjadi percaya“, artinya dibaptis dan menjadi Kristen. Yang dimaksudkan dengan seisi rumah adalah keluarga besar seperti yang sudah disebut di muka: suami-istri, anak, sanak saudara, budak, pembantu dan sebagainya (bdk Kis 10,2.24.48; 11,14; 16,15.31; 18,8; 1 Kor 1,16). Kiranya ada pengandaian umum bahwa bila kepala keluarga masuk Kristen maka semua bawahannya ikut masuk Kristen sesuai dengan struktur patriarkhal keluarga Yunani. Tentu saja orang secara pribadi – lepas dari salah satu keluarga – dapat masuk Kristen dan kemudian menggabungkan diri dengan jemaat yang berpusatkan salah satu keluarga. Keluarga semacam itulah yang menjadi pusat, poros dan tulang punggung jemaat setempat. Dengan demikian kaum awam yang berkeluarga mesti disebut „tenaga inti jemaat“ dan bukan „imam, suster dan bruder“ seperti biasa dikatakan tentang peranan mereka dalam Gereja Katolik di Indonesia.

  1. Keluarga sebagai Penyalur Tradisi dan Pangkal Evangelisasi

4.1 . Menyalurkan Tradisi

Sampai abad ke XX ini keluarga (keluarga besar atau keluarga kecil) menjadi penyalur utama dan pertama tradisi, khususnya tradisi religius. Pimpinan Gereja sudah biasa menekankan peranan keluarga itu (bdk misalnya Yohanes Paulus II, Catechesi tradendae, no. 68). Perjanjian Lama sudah menonjolkan peranan dan kewajiban keluarga (kepala keluarga) itu untuk meneruskan tradisi religius (bdk Yoh 4,6-7.21-24). Sungguhpun para Imam bertugas „mengajar“ umat (Im 10,11; Ul 31, 9-10; Hag 12,11-12; Mal 2, 6-7) dan kemudian para ahli Kitab/Taurat menjadi guru rakyat, namun ketentuan Hukum Taurat tetap berlaku dan diutamakan, seperti yang terdapat dalam Ul 6,6-7,2.25. Nas itu menyajikan semacam „pengakuan iman“ yang oleh kepala keluarga mesti diajarkan kepada keturunannya. Kecuali itu, Mazmur 78 menyajikan – berupa lagu – suatu contoh katekese keluarga semacam itu.

4.2. Pangkal Evangelisasi

Umat Israel di zaman Perjanjian Lama tidak melancarkan ”misi” dengan arti suatu aktivitas khusus untuk mempertobatkan orang luar. Di kemudian hari pun jarang ada kegiatan misioner khusus (di perantauan) yang biasa disebut „proselitisme“. Di zaman Perjanjian Baru „da’wah“ Yahudi agak intensif dan sedikit banyak berhasil juga, namun oleh Perjanjian Baru tindakan ini dikecam (bdk Mat 23,15); tetapi umat Allah melalui keluarga selalu dapat memasukkan orang luar ke dalam umat Allah dan „menyerap“ mereka, sehingga orang luar menjadi setingkat dengan orang Isarel asli, keturunan Abraham, Ishak dan Yakub, ahli waris perjanjian. Aturan mengenai upacara (perjamuan) Paskah dalam Kel 12, 43-49 (bdk Bil 9, 14) jelas mengandaikan bahwa orang bukan Israel setelah bersunat dapat ikut serta dalam upacara kekeluargaan itu. Bisa jadi „orang asing“ itu menjadi budak dalam keluarga atau dengan dasar/alasan lain ia menggabungkan diri. Dengan demikian orang luar menjadi setingkat dengan orang Israel asli. Sejarah umat Allah menunjukkan bahwa cara demikian sering dipakai dan cukup berhasil mengasimilasikan banyak orang atau suku asing ke dalam keluarga umat Allah.

Perjanjian Baru memberikan kesaksian betapa pentingnya peranan keluarga dalam meneruskan tradisi iman kepada generasi selanjutnya. Dalam Kis 16,1 dikisahkan bahwa Timotius, teman dan pembantu Paulus adalah buah perkawinan campur antara ibunya seorang Kristen keturunan Yahudi dan ayahnya orang Yunani kafir. Tetapi 2 Tim 1,5 menegaskan: „Aku (Paulus) teringat akan imanmu yang tulus iklas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakini hidup juga di dalam dirimu“ Jadi Timotius menjadi percaya berkat tradisi iman yang disalurkan kepadanya dalam keluarga, tegasnya oleh ibu keluarga dan tidak terhalang oleh kepala keluarga (ayah) yang tidak percaya kepada Kristus.

Menarik pula apa yang dikatakan Paulus mengenai keluarga Stefanus yang ada di kota Korintus seperti yang dikisahkan dalam 1Kor 16,15-16: „Kamu (jemaat di Korintus) tahu bahwa mereka telah mengabdikan diri kepada pelayanan orang-orang kudus. Karena itu taatilah orang-orang yang demikian (tidak hanya Stefanus, tetapi juga orang-orang lain yang juga melakukan pelayanan yang sama) yang turut bekerja keras dan berjerih payah“. Dengan membaca teks ini orang mendapat kesan bahwa keluarga Stefanus di kota Korintus menjadi awal dan pangkal segenap jemaat Kristen bukan Yahudi yang memelihara dan meneruskan dalam keluarganya iman yang diterimanya berkat Paulus sang Missionaris yang hanya singgah sebentar karena itu dia tidak dapat membangun sebuah jemaat. Peranan yang sama rupanya dipegang oleh pasangan suami-istri Yahudi, Akwila dan Priska bagi jemaat orang Kristen Yahudi di kota Korintus (1Kor 16,19; Rom 16,3; 2Tim 1,19; Kis 18,2.28) dan yang menurut Kis 18,26 aktif dalam tugas evangelisasi.

Berkaitan dengan tugas evengelisasi ini, Paulus juga memberikan semacam pedoman bagi rumah tangga Kristen seperti dicatat dalam Kol 3,18-4,1 agar rumah tangga Kristen tetap dapat bersinar bagaikan mercu suar di tengah-tengah keluarga/masyarakat lainnya. Sesudah itu menyusullah ajakan ini: „Hiduplah dengan penuh ikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang“ (1Kor 4,5). Dengan demikianlah keluarga Kristen akan „bersinar/bercahaya di antara mereka (bukan Kristen) seperti bintang-bintang di dunia“ (Fil 2,15).

Dari paparan yang telah disampaikan diatas menjadi jelas bahwa kelurgalah yang menjadi pangkal penginjilan dan tidak hanya penerus tradisi iman rasuli di dalam lingkup keluarga tetapi meluas juga kepada keluarga-keluarga lainnya. Di muka sudah dikatakan bahwa kerap kali sebuah jemaat berkembang di sekitar salah satu keluarga: Keluarga Stefanus, Keluarga Akwila/Priska di Korintus; Keluarga Filemon di Kolose (Flm 2,15) barangkali juga Keluarga Aristobolus dan Narkisus (Rom 16,10.11), Keluarga Patrobolus, Keluarga Hermes dan Keluarga Olimpas (Rom 16, 14.15).

Tiga abad pertama lamanya Injil disebarluaskan dan merasuki masyarakat melalui kaum awam yang berkeluarga semacam itu. Memang masyarakat Yunani-Romawi di zaman Perjanjian Baru dan sesudahnya cukup mobile. Negara Roma menjamin keamanan dan meyediakan sarana komunikasi (pelayanan di Laut Tengah, jalan-jalan raya). Ada satu kebudayaan bersama (Yunani) yang memayungi berbagai kebudayaan setempat, dan ada satu bahasa (Yunani) yang kurang lebih dimengerti di mana-mana. Terjadi banyak perpindahan: tentara, pegawai negeri, pedagang, pelaut, budak pindah dari satu kota ke kota lain. Melalui mereka serta keluarganya injil diam-diam masuk ke mana-mana dan mulai merubah masyarakat.

4.3. Keadaan berubah

Pada abad IV (312, sejak kaisar Konstantinus) situasi berubah. Negara Roma menjadi sadar bahwa masa depan terbuka bagi agama Kristen, yang sudah menjadi suatu unsur sosio-politis serta ekonomis yang tidak dapat disingkirkan bahkan kemudian dijadikan sebagai „asas tunggal“ negara dan masyarakat Roma. Maka negara menjadi pendukung agama Kristen yang pada abad ke IV dijadikan sebagai „agama negara“. Sesudahnya, negara lalu mengambil alih karya penyebaran injil dan evangelisasi masyarakat. Orang-orang dan bangsa-bangsa dipertobatkan dengan sarana yang sesuai dengan negara, yaitu: tekanan sosio-politis serta ekonomis, paksaan militer dan diplomasi. Dengan demikian peranan keluarga dalam evangelisasi semakin mundur – kalau tidak mau dikatakan hilang sama sekali – seiring dengan munculnya negara/kekaisaran Kristen yang mengambil alih peran dan tugas evangelisasi.

Hal ini disebabkan antara lain oleh karena terlalu banyak orang masuk Kristen tanpa keyakinan pribadi tetapi demi kepentingan politis, sosial dan ekonomis. Orang yang tidak Kristen dianggap menjadi warga negara kelas dua atau kelas tiga. Negara tidak hanya mengharuskan orang beragama, tetapi harus beragama Kristen. „Disiden“ (pembangkang) tidak ditolerir oleh negara yang telah menyatu dengan agama Kristen dan dengan Gereja. Dalam situasi seperti ini, mereka yang dipaksa atau terpaksa masuk Kristen dengan alasan-alasan yang telah disebutkan diatas tadi tentu saja tidak dapat diharapkan mampu membagun keluarga yang dapat berperan sebagai „mercu suar“ yang memancarkan terang injil dan tidak dapat menjadi pangkal evangelisasi serta inti dan poros jemaat. Maka karya evangelisasi diambil alih oleh „aparat“; para petugas Gereja merangkap pegawai negeri. Muncul suatu prinsip yang selama beberapa abad dipakai sebagai tameng pertahanan diri sampai pada zaman Reformasi, yaitu: Cuius religio, illius est religio. Rakyat/bawahan menganut agama penguasa politis. Baru pada abad ke XVI Gereja dan Negara semakin terpisah, aparat Gereja (khususnya tarekat-tarekat kaum religius dan di kalangan Reformasi: lembaga-lembaga Misioner khusus) menangani karya misioner/evangelisasi. Patut dicatat bahwa lembaga misi di pusat Gereja Katolik: Conggregatio de Propaganda Fide baru didirikan pada tahun 1622. Sebelum itu misi/evangelisasi menjadi urusan negara atau kerajaan Katolik seperti: Spanyol, Portugis, dll.

  1. Kembali kepada Keluarga?

Dapatlah kita ajukan pertanyaan, apakah keluarga Kristen dapat kembali (seperti selama tiga abad pertama) menjadi penyebar Injil dan pangkal evangelisasi? Ada beberapa tokoh penting yang berpikir ke arah sana:

  1. Batrik Antiokhia (Ignasius Zakka I Iwas): Kepala sebuah Gereja kecil di kawasan predominan Islam, yaitu Gereja Suriah ortodoks. Beliau berkata: „Memang kita bisa berkata bahwa Santo Petrus mendirikan Gereja di Antiokhia seperti ia mendirikan Gereja di Roma. Tetapi sebenarnya kaum awam berkeluarga yang terlebih dahulu menyebarkan iman Kristen di sana. Kemudian barulah rasul-rasul menyusul. Petrus hanya memberkati karya kaum awam itu. Demikian pun halnya dengan karya penginjilan dewasa ini. Terutama kaum awam biasa yang menginjili dan Gereja (Hirarki) memberkati karya mereka“.

Memang benar juga. Sebagai lembaga dan organisasi dengan seluruh aparatnya Gereja kurang lebih terpisah dari „dunia“ , dari masyarakat ramai dan tampak sebagai suatu badan tersendiri dan agak tertutup. Gereja itu tetap tinggal di luar „dunia“; Sebaliknya, kaum awam dengan keluarga serta profesinya yang beraneka ragam tetap tinggal di tengah dunia dan sepenuhnya terlibat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bila „aparat“ Gereja mampu dan berkompeten memberitakan injil, kaum awamlah yang melalui kehidupan nyata bersama dengan keluarganya meresapkan injil ke dalam dunia sebagai suatu unsur yang turut menentukan segala sesuatu.

  1. Paus Yohanes Paulus II (bdk Familiaris Consortio, no 52, 65, 71) sepakat dengan Batrik Ignasius Zakka I Iwas. Sri Paus pun menegaskan bahwa evangelisasi di masa mendatang sebagian besar bergantung pada „ecclesia domestica“, keluarga yang benar-benar keluarga Kristen. Suami-istri Kristen beserta keluarganya, entah keluarga inti entah keluarga besar mendapat pengutusan (missio) khususnya sebagai rasul yang oleh Kristus diutus sebagai pekerja di kebun anggurNya. Keluarga Kristen menjadi suatu paguyuban penginjil yang memancarkan cahaya Injil ke dalam dunia. Hal ini sudah menjadi kenyataan di beberapa negara Katolik di Eropa, Italia misalnya dimana sekolompok kaum awam yang menamakan diri sebagai kelompok New Catecument, Katekumen Baru mengambil komitmen serta melaksanakan komitmen itu dengan bermisi di negara-negara misi: Afirca, America Latin, Asia. Mereka pergi ke tanah misi sebagai keluarga (suami,istri dan anak-anak) untuk jangka waktu tertentu dan di daerah misi mereka „memecah-mecahkan“ serta „membagi-bagikan“ roti Ekaristi kepada umat dengan membantu dalam bidang pendidikan, kesehatan serta pertanian; tentu saja mereka pun „memecah-mecahkan“ sabda kehidupan bagi umat di daerah misi itu. Kesediaan kaum awam semacam itu tentu akan tetap dibutuhkan di masa sekarang dan masa depan mengingat tugas pewartaan Injil tetap merupkan tugas yang menantang untuk dilaksanakan kapan dan di manapun. Keterlibatan kaum awam/keluarga dengan jumlah yang semakin banyak tentu akan semakin menyemarakkan tugas pewartaan dan semakin banyak orang yang mendapatkan „pecahan roti ekaristi dan pecahan sabda kehidupan“ dalam hidup mereka. Suatu contoh nyata yang layak untuk diteladani oleh setiap keluarga yang menyebut diri murid Kristus.
  1. Berbagai Kendala

Apa yang diusulkan oleh kedua tokoh tersebut diatas, tidaklah terluput dari masalah atau kendala. Realistiskah kembali kepada keluarga sebagai pangkal evangelisasi pada abad XXI dan abad-abad berikutnya? Kelihatannya dewasa ini keluarga-keluarga sendiri menghadapi banyak masalah. Yang dimaksud adalah masalah (besar) insidental dan situasional yang menyangkut sejumlah besar keluarga Kristen: situasi sosial ekonomis yang terlalu buruk, banyak keluarga Kristen yang miskin sehingga tidak sanggup membangun dan membina sebuah keluarga sehat dan sungguh-sungguh Kristen yang sedikit banyak mendekati keluarga ideal yang bisa menjadi penyalur tradisi iman dan pangkal evangelisasi. Namun demikian, toh sangat mengherankan dan mengagumkan juga bahwa masih ada juga keluarga-keluarga yang dalam kemiskinan ekstrim dapat berperan secara demikian sebagaimana terbukti di Amerika Latin/Selatan dalam paguyuban umat basis yang berkembang di sana, walau „paguyuban basis“ itu lebih banyak diminati oleh kaum hawa (ibu-ibu dan anak-anak perempuan).

Selain masalah tersebut diatas, juga muncul masalah lain yang meliputi semua keluarga baik Kristen maupun non Kristen. Akibat gelombang industrialisasi, urbanisasi, tehnologi dan perkembangan sarana komunikasi sosial (radio, televisi, video, film, surat kabar/majalah, hand phone) keluarga tradisional masuk ke dalam suatu krisis yang cukup parah dan tergoncang, misalnya nampak dalam jumlah perpisahan/perceraian di kalangan Katolik yang terus bertambah. Dalam situasi seperti itu ternyata keluarga semakin kurang mampu mengalihkan tradisi baik tradisi religius maupun tradisi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orangtua, kakek dan nenek kerap kali merasa kebingungan dan merasa tidak mampu lagi mendidik anak-anaknya serta menanamkan dalam hati mereka nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh nenek moyang, termasuk iman Katolik. Di dalam dan di luar rumah generasi muda menjadi sasaran pengaruh yang sering bertolak belakang satu sama lain. Sejak kecil, antara lain di sekolah yang „sekular“ (tidak terkecuali di sekolah yang disebut „Katolik“), anak-anak mesti menghadapi pelbagai tata nilai yang ditawarkan dengan menggunakan macam-macam sarana yang dipinjam dari disiplin ilmu sosiologi dan psikologi yang pada dasarnya „tidak religius“. Tata nilai yang ditawarkan orangtua hanya salah satu dan tawarannnya kerap kali kurang berdaya guna oleh karena orangtua tidak dapat memakai sarana yang canggih tersebut. Maka orang-orang muda seolah-olah dapat dan boleh memilih apa yang pada saat tertentu disenangi dan pada hari berikutnya boleh saja diganti dengan sesuatu yang lain yang lebih menggairahkan.

Susana yang demikian ini meluas ke seluruh dunia bahkan sampai ke polosok-polosok yang paling jauh. Bagaimana di „zaman pasca modern“ semacam ini keluarga dapat menjadi penyalur tradisi iman dan pangkal evangelisasi dalam masyarakat? Saingannya banyak, beragam dan hebat. Mungkin ada orang yang tahu bagaimana keluarga Katolik dapat meghadapi tantangan serba baru itu dan bagaimana keluarga itu dapat menjadi penerus iman serta pangkal evangelisasi di zaman modern ini? Kami hanya menyebut kenyataan kongkret beserta implikasinya bagi tugas evangelisasi keluarga Katolik tanpa berani memberikan solusi yang jitu terhadap masalah ini. Satu hal yang kami pikirkan yang kiranya dapat dianggap sebagai suatu usulan adalah memperkuat kekatolikan keluarga anda masing-masing, menjadi keluarga yang 100% Katolik dengan secara pro aktif mengikuti pembinaan serta penyegaran yang ditawarkan oleh pihak Gereja atau lembaga lainnya. Kalau keluarga-keluarga sungguh mampu menjadi keluarga Katolik maka besar haparan bahwa keluarga-keluarga akan mampu mengemban tugas pewartaan dan penerusan tradisi iman seperti yang diteladankan oleh keluarga-keluarga Kristen pada 3 abad pertama. Ini menjadi suatu tantangan bagi keluarga-keluarga Katolik untuk bersama-sama mencari cara dan upaya yang realistis, serasi dan cocok sehingga tugas mendasar tadi akan tetap dapat dijalankannya dengan baik sesuai dengan apa yang dipesankan oleh Tuhan Yesus.

  Oleh Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *