Wanita Sebagai Istri Dan Ibu Dalam Keluarga

PENGANTAR

Dalam artikel ini akan disampaikan tentang peranan wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga melengkapi pembahasan tema sebelumnya tentang peranan pria sebagai suami dan ayah dalam keluarga. Dalam kedua tema ini nampak unsur saling keterkaitan satu sama lain dalam arti apa yang dibicarakan dalam pembahasan sebelumnya berkaitan dengan pembahasan tentang peran wanita ini; dengan demikian unsur saling melengkapi diantara kedua meteri ini menjadi jelas.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa peran wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga kiranya sudah amat jelas, namun dalam kenyataannya masih menyisakan sejumlah masalah yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Peran wanita sebagai istri dan ibu secara umum dipahami sebagai peran yang berkaitan dengan tugas melayani kebutuhan suami dan merawat anak. Pemahaman seperti itu, tentunya tidak salah, hanya saja perlu ditata ulang dan ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas.

Seiring dengan perjalanan waktu semakin disadari pula, makin meluasnya peran wanita dalam keluarga. Semakin banyak dijumpai kaum perempuan yang bekerja di luar rumah dalam berbagai bidang pekerjaan. Mereka mencari nafkah seperti halnya kaum laki-laki, mengembangkan diri dalam berbagai bidang karier, dengan demikian merasa diri semakin independen dalam hidup, tanpa banyak bergantung pada suami. Namun demikian, peran pokok wanita sebagai istri yang melayani suami dan keluarga serta sebagai ibu yang melahirkan dan mendidik anak tetap merupakan peran yang tidak tergantikan, betapun sukses karier yang telah dicapai. Melihat pentingnya peran ini, maka kaum wanita yang tidak bekerja di luar rumah tetap harus dihargai andil dan jerih payah mereka, layaknya seperti mereka yang bekerja di luar rumah.

  1. Keluhuran Martabat Wanita

Hal pokok yang perlu digarisbawahi, bahwa martabat serta tanggungjawab antara pria dan wanita dalam keluarga adalah sama. Kesamaan itu secara istimewa diwujudkan dalam penyerahan diri timbal-balik antara mereka sendiri (suami-istri) dan dalam penyerahan diri mereka berdua kepada anak-anak yang secara istimewa terjadi dalam pernikahan dan hidup berkeluarga. Apa yang secara nyata dipahami dan diakui oleh manusia menyangkut masalah kesemartabatan wanita dengan kaum pria sepenuhnya telah diwahyukan oleh Sabda Allah. Sejarah keselamatan adalah kesaksian hidup yang secara sangat jelas memberikan ”bukti-bukti” otentik tentang keluhuran martabat kaum wanita.

Keluhuran martabat wanita  itu dengan sangat jelas diwahyukan oleh Allah dalam diri Putera-Nya yang mengenakan tubuh manusiawi dan lahir dari tubuh perawan Maria. Dengan demikian tubuh wanita (Perawan Maria) telah disucikan dan memperoleh martabat mulia sebagai yang melahirkan Sang Penyelamat. Gereja menyebutnya Hawa baru dan menampilkannya sebagai pola wanita yang telah ditebus. Demikian juga sikap hormat Tuhan Yesus yang penuh perasaan terhadap para wanita yang dipanggil untuk mengikuti-Nya dan kemudian menjadi sahabat-sahabat-Nya, penampakan-Nya pada hari Paska pagi kepada wanita (Maria Magdalena) sebelum Ia memperlihatkan diri kepada para murid lainnya dan perutusan yang dipercayakan kepada para wanita untuk menyampaikan warta gembira tentang kebangkitan kepada para Rasul, semuanya itu merupakan tanda yang menggarisbawahi bahwa Tuhan Yesus secara khusus menghargai kaum wanita (Familiaris Consortio 22).

Tuhan Yesus telah mengubah paradigma atau pola pikir pada zaman itu yang menempatkan kaum wanita sebagai warga masyarakat kelas dua. Tuhan Yesus mau menegaskan bahwa wanita memiliki martabat yang sama mulianya dengan kaum laki-laki; mereka pun pantas untuk dilibatkan dalam karya penyelamatan sama seperti Yesus melibatkan kaum lelaki. Kaum wanita layak untuk menjadi pemeran dalam karya penyelamatan Tuhan, seperti yang telah diperlihatkan oleh Tuhan Yesus dalam injil-injilNya dan bukan hanya menjadi penonton pasif.

Cultur-budaya yang memandang kaum perempuan sebagai pihak yang lebih rendah dalam hal kesemartabatan dibandingkan dengan kaum laki-laki dan karena itu dianggap tidak layak untuk ikut berperan dalam hal kepemimpinan, baik dalam lingkup keluarga maupun lingkup masyarakat luas telah dikoreksi oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus telah mengajarkan kita untuk tidak berpikir secara sempit dengan sistem pemikiran yang membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, tetapi berdasarkan pewahyuan Ilahi dimana setiap orang mempunyai martabat yang sama di mata Tuhan dan bahwa semua orang dipanggil (tanpa kecuali) untuk ambil bagian dalam karya penyelamatan-Nya.

  1. Peran Wanita dalam Rumah dan di Tempat Kerja

Fakta adanya kesamaan martabat serta tanggungjawab antara pria dan wanita sepenuhnya membenarkan dan mendukung kemungkinan bagi kaum wanita untuk menjabat fungsi-fungsi yang resmi (di luar rumah), baik dalam lingkup pemerintahan maupun swasta. Demikain juga, kalau kita sungguh mau menempatkan perkembangan kaum wanita dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan mempromosikan kesetaraannya dengan kaum laki, maka peran kaum wanita sebagai ibu rumah tangga harus diakui dan mendapatkan penghargaan yang wajar.

Mentalitas yang menghormati kaum wanita secara lebih karena bekerja di luar rumah, daripada bekerja di dalam rumah/di lingkungan keluarga harus mulai diubah. Karena itu, adalah penting untuk menata masyarakat sedemikain rupa, menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung serta menghargai pekerjaan yang dilaksanakan oleh kaum perempuan dalam rumah tangga, sehingga peran dan pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh kaum wanita diakui dan dihargai sebagaimana layaknya pekerjaan di luar rumah. Peran-peran serta profesi-profesi yang dijalankan oleh kaum wanita itu, harus dipadukan secara selaras – seimbang demi mendukung perkembangan masyarakat yang utuh, seimbang dan manusiawi.

  1. Usaha Gereja untuk Memperjuangkan Kesemartabatan Perempuan

Usaha dan perjuangan Gereja untuk memperjuangkan kesemartabatan kaum wanita tidaklah mudah. Banyak kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi. Mentalitas materialisme dan hedonisme yang menganggap manusia bukan sebagai pribadi melainkan sebagai benda, sebagai obyek perniagaan yang berfungsi melayani kepentingan dan egoisme serta kenikmatan duniawi adalah salah satu rintangan terbesar yang diahadapi oleh Gereja. Korban-korban pertama dari mentalitas itu adalah kaum wanita. Mentalitas itu menghasilkan buah-buah yang amat pahit, misalnya penghinaan terhadap pria maupun wanita, perbudakan, penindasan kaum lemah, ”produksi” pornografi yang semakin mendunia, pelacuran dalam bentuk terorganisasi serta sekian banyak bentuk diskriminasi, baik di bidang pendidikan, pekerjaan, penggajian dan lain-lain.

Demikian juga, budaya patriarkal yang sedemikian mengakar dalam sebagian besar masyarakat Indonesia, selalu menempatkan kaum wanita dalam posisi marginal/pinggiran sebagai warga masyarakat kelas dua, membuat tujuan perjuangan kesemartaban itu menjadi sulit untuk diwujudkan dalam kurun waktu yang singkat. Namun demikian, usaha dan perjuangan ini tidak boleh surut. Gereja dengan tegas mengecam bentuk-bentuk diskriminasi itu, begitu pula bentuk-bentuk marginalisasi lainnya. Kita harus tetap pada komitmen untuk membawa gerakan ini sampai pada tujuannya, yakni tercapainya kesemartabatan antara pria dan wanita. Johanes Paulus II mendorong semua pihak, khususnya mereka yang mempunyai kekuasaan dalam lingkup publik (pemerintah) untuk menempuh langkah-langkah politis dan pastoral yang tegas dan mengena sasaran, untuk secara efektif dan definitif mengatasi situasi itu, sehingga gambar Allah yang memancar dari semua manusia, tanpa kecuali dihormati sepenuhnya (bdk  FC 24).

  1. Pengakuan akan Nilai Keibuan dan Tugas-Tugas dalam Keluarga

Usaha dan upaya untuk memperjuangkan kesemartabatan kaum wanita menuntut bahwa nilai keibuan dan tugas-tugas dalam keluarga haruslah diakui secara terbuka. Aktivitas yang paling pantas dan khusus dari seorang wanita yang sudah menikah adalah tetap berada di dalam keluarga. Karena itu, tidaklah mungkin membebaskan istri dari tugas mengurus/melayani suami, anak-anak dan orangtua – yang merupakan panggilan dasar seorang wanita – walaupun mereka bekerja atau berkarier di luar rumah.

Kedua bentuk pekerjaan ini (di luar dan di dalam rumah) harus dilihat sebagai upaya pengembangan diri serta ungkapan cinta yang tulus kepada suami, anak dan seluruh keluarga.Tidak boleh ada diskriminasi dengan anggapan bahwa pekerjaan di luar rumah lebih bergengsi karena menghasilkan pendapatan tetap setiap bulan, sementara pekerjaan rumah tangga, karena tidak menghasilkan uang/gaji tidak diperhitungkan sama sekali. Ini adalah anggapan yang salah! Semua pekerjaan, apapun bentuknya harus dipandang sebagai sarana pengembangan diri, yang melaluinya manusia menunjukkan jati dirinya sebagai citra Allah, yang dipanggil oleh Allah untuk ikut membangun dan ”mencipatkan” dunia ini menjadi tempat yang semakin menyenangkan bagi semua penghuninya.

  1. Kesadaran akan Nilai Ilahi Hubungan Suami-Istri

Suami-istri harus sadar akan nilai ilahi dari hubungan mereka, yakni hubungan yang mencerminkan relasi persekutuan Kristus dengan Gereja/umat-Nya. Kesadaran akan keistimewaan hubungan ini, menuntut kedua belah pihak (suami-istri) untuk berusaha membangun relasi kesetaraan dan kesamaan diantara mereka. Relasi itu hendaknya ditandai oleh sikap saling menghargai, mencintai, mengampuni, berkurban dan mendukung satu sama lain seperti yang dinampakkan oleh Yesus dalam relasi dengan Gereja-Nya. Pola relasi antara Yesus dengan Gereja-Nya adalah model atau rujukan dalam membangun relasi yang harmonis antara suami-istri.

PENUTUP

Dalam perkembangan dunia yang semakin mengarah kepada pengakuan akan hak-hak asasi dan martabat pribadi manusia sebagi hak yang bersifat natural, yang dimilik oleh setiap manusia karena dia manusia, maka kesadaran akan penghargaan terhadap kesamaan martabat pribadi manusia, antara laki-laki dan wanita menjadi suatu keharusan. Pengakuan akan kesamaan martabat itu, sejalan dan seiring dengan pengakuan akan hak-hak asasi universal. Karena keberadaannya sebagai manusia, terlepas dari segala atribut yang kemudian “dilekatkan” pada dirinya, manusia pantas untuk dihormati. Hal inilah yang menjadi pendasaran antropologis-teologis untuk menempatkan kesejajaran dan kesemartabatan antara pria dan wanita sebagai sebuah keniscayaan.

Dengan bertolak dari pemahaman tersebut, maka dengan tegas harus dikatakan bahwa segala macam bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan harus dihapus dari muka bumi. Penghormatan terhadap manusia hendaknya tidak didasarkan pada jenis pekerjaan atau profesi yang dimilikinya, tetapi pada martabatnya sebagai citra Allah. Oleh karena itu, peran wanita sebagai ibu rumah tangga, harus dihargai dan ditempatkan sejajar dengan mereka yang bekerja di luar rumah.

Secara natural, wanita memang mengambil peran ganda, yakni sebagi istri dan ibu. Sebagai istri, ia bertugas untuk melayani kebutuhan keluarga dan sebagai ibu ia berperan merawat dan membesarkan anak-anak dalam suasana kasih sayang; namun demikian, tidak menutup kemungkinan baginya untuk berkarier di luar bidang itu. Kita selalu memahami, apapun “bentuk” pekerjaan yang dipilih dan dilakoni oleh wanita, kita pahami sebagai sarana pengembangan dirinya dan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. semoga.

Oleh: R.P. Dr. I Ketut Hadihardana MSF

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *