KELUARGA SEBAGAI PEMELIHARA KEHIDUPAN MANUSIA

Dalam artikel ini, kita diajak untuk menyadari akan tugas penting yang diemban oleh keluarga Kristiani sebagai panggilan yang datang dari Tuhan, yakni untuk menjadi tempat di mana kehidupan diterima, dipelihara, dikembangkan dan dilindungi dari segala marabahaya. Dalam bahasa Johanes Paulus II, keluarga didefiniskan sebagai ”sanctuary of life” atau”kuil kehidupan”. Di dalam ”kuil” itulah kehidupan sebagai anugerah luhur yang berasal dari Tuhan menemukan tempat yang aman bagi pertumbuhannya.

Tugas keluarga sebagai “sanctuary of life” itu menjadi semakin penting untuk digarisbawahi mengingat munculnya berbagai macam gerakan/tindakan yang menunjukkan sikap kebalikan, yakni sebagai pembenci dan pemusnah kehidupan manusia. Dalam situasi demikian ini, keluarga Kristiani dipanggil untuk menjadi rasul kehidupan di zaman sekarang ini yang semakin tidak ramah terhadap kehidupan. Sebagai rasul kehidupan, keluarga Kristiani harus berani mewartakan nilai luhur kehidupan manusia sebagaimana yang diwartakan oleh Injil dan diajarkan oleh Gereja, bahwa nilai kehidupan manusia itu adalah luhur karena diciptakan oleh Allah dalam kesecitraan-Nya terlepas dari kenyataan bahwa ia cacat/kurang sempurna secara fisik atau mental; karena itu tetap layak dan pantas untuk dilindungi, dipelihara, dijaga dan dihormati seperti mereka yang “sempurna” fisik/mental.

  1. Hidup adalah Anugerah Tuhan

Hidup adalah anugerah yang kita terima dari Tuhan, Sang asal kehidupan. Sebagai anugerah, hidup itu adalah pemberian cuma-cuma/gratis dari pihak Allah tanpa seorang pun pernah meminta diberi hidup, juga tidak pernah minta dilahirkan di salah satu keluarga tertentu atau di salah satu negara favorite, misalnya di keluarga A yang kaya raya atau di negara B yang menjamin hak dan kebebasan beragama bagi setiap orang! Tidak! Allah memberikan anugerah kehidupan secara gratis kepada kita tanpa kita pernah memintanya, karena Ia mencintai kita. Allah ingin berbagi cinta dengan manusia melalui anugerah kehidupan itu, sehingga kasih dan cinta-Nya semakin meluas diantara mahluk ciptaan-Nya, khususnya diantara manusia.

  1. Allah adalah sumber Hidup

Kesadaran akan Allah sebagai sumber dan pemberi kehidupan membawa kita kepada kebenaran mendasar bahwa Allah adalah pemilik dan tuan atas kehidupan, karena itu tidak seorang pun, tidak juga mereka yang mempunyai kekuasaan dalam bidang politik atau pemerintahan, ekonomi dan militer bisa mengklaim hak untuk mengontrol, menguasai atau lebih buruk lagi menghancurkan kehidupan. Kehidupan itu sepenuhnya berasal dari Allah, maka hanya Dialah yang berhak untuk “menguasai” dan mengambilnya kembali sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, Gereja menentang dengan sangat keras berbagai bentuk tindakan yang mengarah kepada penghancuran kehidupan: euthanasia, aborsi, pembunuhan, bunuh diri, penyiksaan dan berbagai bentuk tindakan represif lainnya. Melawan atau menghancurkan kehidupan, berarti melawan Allah sendiri Sang Pemberi hidup!

Tindakan pengguguran yang berarti membunuh bayi-bayi yang tidak berdosa dan itu berarti menghancurkan kehidupan itu. Selain itu, aborsi juga membawa efek yang berbahaya bagi dan merusak kesehatan para wanita, membahayakan keluarga-keluarga, merendahkan derajat profesi medis sebagai pembela kehidupan, melemahkan bangsa-bangsa dan menghancurkan Gereja. Itulah sebabnya mengapa sejarah peradaban manusia selalu mengecam dan menghukum tindakan-tindakan seperti itu. Hal itu sudah sejak lama ditegaskan dalam sejarah umat manusia. Dalam bidang hukum, 2000 thn sebelum Masehi, dalam kode hukum tertua kita mengenal Kode Hukum bangsa Sumeria; dalam bidang kedokteran, 400 thn sebelum Masehi dalam sumpah Hipokrates dan tentu saja dalam ajaran Kristiani sekitar tahun 70 Masehi dalam Kitab Didache, dokumen Kristiani non-Injil pertama yang kita miliki; semua dokumen ini dengan sangat jelas menggariskan luhurnya martabat hidup manusia, karena itu tindakan apa pun yang bertujuan untuk menghancurkannya harus ditolak dengan tegas.

Demikian juga Gereja mengecam sebagai pelanggaran berat terhadap martabat manusiawi dan keadilan segala kegiatan pemerintah atau para penguasa lain yang dengan cara mana pun juga mencoba membatasi kebebasan para suami-istri untuk mengambil keputusan perihal jumlah anak yang hendak dilahirkan. Keputusan mengenai jumlah anak yang hendak dimiliki oleh keluarga adalah hak privat/prerogatif yang sepenuhnya dimiliki oleh suami-istri; dalam hal ini, tidak ada orang atau pun badan/organisasi di luar institusi keluarga/suami-istri yang mempunyai hak untuk memutuskan hal ini. Ini adalah urusan privat dan pribadi dari suami-istri.

Dalam perspektif itu, bentuk kekerasan mana pun yang digunakan oleh para penguasa untuk mengembangkan kontrasepsi atau yang lebih buruk lagi sterilisasi dan pengguguran yang disengaja dengan tujuan untuk membatasi hak suami-istri untuk melahirkan anak harus dikecam habis-habisan dan ditolak dengan tegas. Demikian juga harus dicela sebagai ketidakadilan yang parah, kasus-kasus dalam hubungan internasional di mana bantuan-bantuan dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kemajuan-kemajuan lainnya dikaitkan dengan program-program kontrasepsi, sterilisasi dan pengguguran yang disengaja; artinya bantuan-bantua itu akan diberikan jika negara penerima bantuan bersedia menerima persyaratan di atas, yakni menerima program sterilisasi, kontrasepsi dan pengguguran (bdk FC 30). Banyak negara-negara miskin dan berkembang menjadi korban kebijakan politik dari negara-negara kaya yang dengan dalih memberi bantuan ekonomi, pendidikan dan kesehatan memaksa negara-negara penerima bantuan untuk menerapkan program pembatasan kelahiran dengan metode-metode yang melanggar martabat dan keluhuran nilai pribadi dan hidup manusia.

  1. Keluarga Kristiani adalah “Sanctuary of Life”

Keluarga Kristiani oleh Johanes Paulus II disebut sebagai “sanctuary of life” atau “kuil” kehidupan, artinya tempat dimana kehidupan manusia itu disemaikan, ditumbuhkan, dipelihara dan dilindungi dari segala marabahaya sampai saatnya Tuhan, Sang empunya kehidupan mengambilnya kembali. Di dalam dan melalui keluarga, suami-istri dipanggil oleh Allah Sang Pencipta untuk bekerjasama dengan-Nya dalam meneruskan penciptaan generasi baru dengan kesediaan dan keterbukaan mereka untuk menerima anugerah kehidupan baru yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Sehubungan dengan itu, Paus Johanes Paulus II menganjurkan supaya suami-istri bersikap murah hati dalam menerima anugerah kehidupan ini. Sikap murah hati ini hendaknya juga diwujudkan dalam kesediaan untuk membantu keluarga-keluarga lainnya yang secara finansial/ekonomi mengalami kesulitan sehingga tidak mampu menyediakan atau memenuhi kebutuhan pokok yang diperlukan untuk mewujudkan perkembangan kehidupan manusia seutuhnya.

Selain itu, sikap murah hati ini hendaknya ditujukan pula untuk anak-anak yang tidak mengalami kasih dan cinta dari orangtua karena kehadiran mereka tidak dikehendaki. Banyak diantara mereka yang ditampung di panti-panti asuhan. Anak-anak ini sungguh merindukan kasih sayang orangtua seperti anak-anak lainnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya. Karena itu sikap murah hati dari suami-istri yang bersedia mengadopsi mereka sungguh merupakan tindakan terpuji yang patut digalakkan di kalangan keluarga-keluarga Kristiani. Kasih sayang ke-bapa-an dan ke-ibu-an tidak harus diungkapkan kepada anak kandung sendiri, tetapi bisa juga diungkapkan kepada anak-anak lain yang mendambakan kasih sayang orangtua dalam hidup mereka. Pasangan suami-istri yang tidak dikaruniai anak sangat dianjurkan untuk mengadopsi anak-anak sebagai wujud nyata dari kesediaan mereka untuk berbagi kasih dengan sesama.

  1. Cinta terhadap Sesama: Wujud kongkret Pembelaan Hidup

“Engkau harus mencintai sesamamu seperti dirimu sendiri” (Luk 10, 27). Ini adalah perintah Tuhan yang secara positif mendorong manusia untuk menghargai sesama terutama menghargai hidup mereka dengan tidak melakukan tindakan atau perbuatan apa pun yang dapat membahayakan atau menghilangkan hidup orang lain. Perintah mencintai sesama juga berarti kita harus mengusahakan hal-hal positif yang bertujuan melindungi dan mempromosikan kehidupan. Penyediaan sandang, pangan dan papan sebagai kebutuhan dasar bagi hidup manusia adalah usaha-usaha positif yang perlu digalakkan di kalangan sesama warga. Dalam hal ini, semua orang tanpa kecuali terikat tugas dan kewajiban untuk ambil bagian dalam tugas yang luhur dan mulia ini.

Keluarga-keluarga Kristiani adalah agent pertama dan utama yang terlibat dalam tugas ini, sebab keluarga adalah tempat pertama dimana kehidupan itu diterima dan dikembangkan. Karena itu menjadi kewajiban bagi keluarga – dalam kerjasama dengan orang lain – untuk menyediakan semua hal yang perlu agar kehidupan yang dianugerahkan Tuhan itu sungguh dapat bertumbuh dan berkembang sebagaimana yang diharapkan oleh Tuhan. Karena itu adalah penting untuk mengembangkan sikap dan semangat solidaritas diantara semua warga dan diantara keluarga-keluarga dengan kesediaan untuk saling membantu agar kesulitan-kesulitan yang dialami oleh keluarga dalam rangka “memperkembangkan” kehidupan manusia dapat ditanggulangi secara bersama-sama.

Solidaritas harus dipandang sebagai bentuk nyata dari kesediaan untuk berbagi kasih dan berbagi beban dengan sesama dan antar keluarga-keluarga, sekaligus harus ditempatkan sebagai wujud kongkret dari iman yang hidup. St Yakobus mengatakan: “Iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati” (Yak 2, 20). Tuhan Allah menghendaki agar berkat yang berupa kekayaan/harta benda harus diperuntukkan demi kepentingan bersama dan demi kemajuan umat manusia. Mereka yang diberikan berkat lebih banyak dari yang lain, harus rela berbagi dengan saudara-saudari yang berkekurangan. Kekayaan material hanya mempunyai arti bila diperuntukan bagi kesejahteraan bersama dan bukan untuk dimonopoli secara pribadi. Saatnya keluarga-keluarga yang menerima berkat “lebih” dari Tuhan pada gilirannya harus menjadi berkat bagi saudara-saudarinya yang lain.

Oleh: Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *