Sejarah Masuk Misi Katolik di Kalteng
Misi Katolik masuk ke daerah Kalimantan Tengah melalui daerah Kalimantan Selatan Berawal dari kesepakatan antara pihak Portugis dan Sultan Banjarmasin yang terjadi sekitar tahun 1687: mengijinkan seorang missionaris (Katolik) untuk tinggal dan menetap di Banjarmasin dan mendirikan Gereja. Pada tanggal 2 Februari 1688 seorang Pastor dari ordo Theatijn bernama Antonio Ventimiglia tiba di Banjarmasin dari Goa (India) dengan menumpang kapal dagang Portugis.
Setiba di Banjarmasin Pastor Ventimiglia berkenalan dan menjalin persahabatan lebih banyak dengan orang Dayak Ngaju. Setelah tinggal beberapa lama di Banjarmasin, Pastor Ventimiglia melanjutkan perjalanan ke pedalaman bersama dengan seorang putra Dayak yang dikenalnya sewaktu bersama-sama berlayar dalam perjalanan dari Macao-Gowa ke Banjarmasin. Mereka naik perahu yang dilengkapi altar untuk mempersembahkan korban misa menyusuri sungai Barito dan masuk ke pedalaman sungai Kapuas. Disepanjang perjalanan, Pastor Ventimiglia mengadakan hubungan dengan penduduk pribumi termasuk tokoh-tokoh masyarakatnya: para Temanggung, Damang dan Raja Sindum.
Diberitakan karena terjalinnya hubungan yang baik dengan penduduk pribumi, Pastor Ventimiglia berhasil mempermandikan lebih dari 3000 orang pribumi (dayak) menjadi Katolik. Menurut perkiraan, pusat kegiatan Pastor Ventimiglia ini terletak di Manusup, kampung yang terletak di tepian sungai kapuas, kabupaten Kapuas. Keakraban antara Pastor Ventimiglia dengan penduduk setempat membuat Sultan Banjarmasin tidak senang karena takut kehilangan pengaruhnya dikalangan suku Dayak.
Demi kepentingan Ekonomi dan Politik dengan Sultan Banjarmasin, para penguasa Portugis yang ada di Banjarmasin juga tidak senang dengan kegiatan Pastor Ventimiglia di pedalaman. Pada tahun 1691 Pastor Ventimiglia meninggal dunia. Pendapat umum mengatakan bahwa beliau dibunuh atas suruhan Sultan Banjar. Sepeninggal Pastor Ventimiglia penduduk yang telah dibaptis menjadi Katolik menjadi kacau balau. Mereka lalu mundur secara pelan-pelan kembali kepada kepercayaan dan kebudayaan asli seperti semula. Hal ini dapat dimengerti karena penduduk yang sudah mendapat baptisan ini belum mendalam pengetahuan tentang iman dan ajaran agama Katolik.
Menurut para peneliti sejarah, sisa-sisa ajaran agama Katolik yang masih tertinggal dan melekat pada budaya mereka adalah tanda salib. Usaha untuk membantu missi Pater Ventimiglia di Pedalaman Kalimantan Tengah selalu diusahakan oleh rekan-rekannya, tetapi selalu mengalami hambatan. Sultan Banjarmasin tidak pernah mengijinkan para misionaris mudik ke pedalaman apalagi ketempat karya misi Pater Ventimiglia
Dari Banjarmasin karya misi melebarkan sayapnya ke pedalaman Kalimantan Tengah di kalangan suku Dayak. Dalam kurun waktu 1952 – 1965 mulai dibuka stasi-stasi sentra sebagai pusat pelayanan. Stasi pertama yang dibuka di Sungai Barito adalah Muara Teweh pada tahun 1954 yang berfungsi sebagai pusat pelayanan di wilayah Sungai Barito. Dari Muara Teweh melebar ke Buntok (1965), Puruk Cahu (1966), lalu masuk sungai-sungai kecil: antara lain Teweh, Montalat, Ayuh dan sekitarnya
Pada tahun 1952 Sampit ditetapkan sebagai stasi sentral pelayanan di wilayah sungai Mentaya, Seruyan, Katingan dan sekitarnya. Pada tahun 1965, Pangkalan Bun dibuka menjadi stasi sebagai sentra pelayanan di daerah sungai Lamandau, Arut dan sekitarnya. Daerah Palangka Raya dijadikan stasi pada tahun 1963 atas usulan gubernur pertama Kalimantan Tengah, Bapak Tjilik Riwut. Dari Palangka Raya karya misi melebar ke Kuala Kapuas, Kuala Kurun. Dalam tahun 1965 karya misi membuka karya Pastoral baru di daerah Barito Selatan yaitu wilayah Tamiang Layang dan Ampah.