Pertemuan Tahunan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE), Justice and Peace and Integraty of Creation (JPIC) dan Caritas (Lembaga Karya Karitatif)

Pertemuan Sub-Regio Timur dilaksanakan pada tgl 27-30 April 2015 di wisma UNIO, Palangka Raya. Para peserta sudah berkumpul di ruang pertemuan pada tgl 27 April 2015. Pertemuan diawali dengan Perayaan Ekaristi, pada tgl 28 April, Pk. 06.15 WIB di ruang pertemuan, dipimpin olehVikjen, Rm. Silvanus Subandi, Pr. Seusai perayaan ekaristi, acara dilajutkan dengan makan pagi. Hadir dalam pertemuan ini sebanyak 20 orang peserta, terdiri dari: Keuskupan Banjarmasin: 4 orang, Palangkaraya 14 org, Samarinda 1 orang dan Tanjung Selor 1 orang (Pastoral migrant).

Dalam sesi pertama, Koordinator menyampaikan laporan hasil pertemuan tahun Sub-Regio Timur thn 2014 serta laporan pertemuan Regio Kalimantan thn 2014. Setelah disampaikan laporan tersebut, para peserta diberi kesempatan untuk menanggapi. Beberapa tanggapan yang muncul: 1. Kita sepakat untuk memberikan rekomendasi kepada para Uskup Prop. Grejawi Samarinda atas hasil pertemuan dari Sub-Regio Timur. Rekomendasi ini dimaksudkan sebagai laporan pertanggungjawaban atas pertemuan yang dibuat, dengan tetap mengingat bahwa rekomendasi ini tidak bersifat mengikat bagi Para Uskup dalam mengambil dan menjalankan kebijakan pastoral di Keuskupan masing-masing.

Persoalan pastoral praktis dari para buruh migran yang berasal dari daerah NTT, secara khusus terkait dengan legalitas perkawinan. Harus diakui bahwa masih banyak diantara mereka yang hidup dalam status perkawinan yang tidak sah. Untuk itu disarankan bahwa para petugas pastoral harus berusaha untuk membantu menyelesaikan kasus-kasus ini dengan melakukan pendekatan personal dan pastoral dengan para pimpinan Gereja di daerah asal para buruh migran. Namun demikian, kebijakan pastoral diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing Keuskupan. Keuskupan Samarinda, misalnya, mengambil kebijakan dalam penentuan status liber dengan cara mengambil sumpah dari para saksi yang sungguh mengetahui keadaan calon suami-istri. Sumpah semacam ini dianggap dapat memberikan kepastian atas status liber dari calon suami-istri.

Kesepakatan tentang penggunaan buku panduan APP. Kita sepakat untuk tetap menggunakan buku panduan APP yang dibuat oleh team APP sub-Regio Barat dengan tetap terbuka kemungkinan untuk melakukan penyesuaian sesuai dengan kondisi masing-masing Keuskupan. Dari pihak Sub-Regio Timur diharapkan masukan atau usulan bahan untuk penyusunan APP kepada team pembuat panduan APP Sub-Regio Barat.

Hasil pertemuan pada tingkat Sub-Regio Timur dapat dijadikan sebagai bahan dalam perumusan kebijakan pastoral sesuai dengan visi dan misi dari masing-masing Keuskupan; dengan demikian, hasil pertemuan sungguh bersifat operatif dan aplikatif.

Disepakati waktu pertemuan untuk Sub-Regio Timur adalah hari Selasa-Jumat dalam Minggu ke-2. Pada bulan Mei. Waktu ini disepakati sebagai waktu pertemuan yang bersifat final. Untuk pertemuan Sub-Regio Timur 2016, tempatnya adalah Tanjung Selor, tgl 10-13 Mei 2016.

Sesi kedua diisi dengan sharing kegiatan dari para peserta. Dari beberapa sharing yang muncul dari para peserta dapat diambil beberapa kesimpulan:

  1. Advokasi terhadap masyarakat tetap harus dilakukan, walau menghadapi banyak tantangan, khususnya berkaitan dengan sikap masyarakat yang lebih mementingkan hasil yang instant daripada harus melewati proses penantian “hasil” dalam waktu yang lama. Sebagai contoh: masyarakat lebih memilih menanam sawit daripada karet karena sawit lebih cepat masa panennya daripada karet. Selain itu, harga karet yang tidak stabil menjadi salah satu faktor pendukung bagi masyarakat untuk beralih dari tanaman karet ke sawit.
  2. Salah satu bentuk advokasi terhadap land grabbing yang dapat diusahakan adalah memberikan contoh kongkret kepada masyarakat melalui tindakan nyata. Tidak cukup hanya dalam bentuk ceramah atau nasehat, diperlukan tindakan kongkret yang dapat dilihat secara langsung oleh masyarakat. Sejumlah tindakan kongkret seperti penanaman karet, gaharu, budidaya ikan, pisang, tanaman padi dan burung walet dapat menjadi contoh nyata bagi masyarakat. Diharapkan dengan cara-cara semacam ini, masyarakat tidak akan dengan mudah melepaskan hak atas tanah yang dimiliki. Selain itu, terbososan baru ini akan membawa dampak pada peningkatkan ekonomi masyarakat.
  3. Keterlibatan kaum awam. Mengingat keterbatasan kemampuan kita (Kaum berjubah) dalam menangani masalah-masalah pastoral yang berkaitan dengan kebencanaan, peningkatan ekonomi umat dan pendampingan terhadap masyarakat (advokasi), kita akan berusaha untuk merekrut kaum awam yang profesional dalam bidang masing-masing untuk membantu pelaksanaan program pelayanan yang dimaksud.
  4. Mendorong masyarakat untuk mengembangkan tanaman jangka pendek, seperti sayur-mayur, kacang tanah, padi, pisang yang secara langsung dapat membantu ekonomi masyarakat. Dalam upaya untuk melawan ekspansi sawit, kita perlu memberikan contoh kongkret jenis tanaman lain yang sifatnya dapat membantu peningkatan ekonomi masyarakat. Selain itu, tanaman Gaharu menjadi salah satu pilihan yang dapat disosialisasikan kepada masyarakat. Melalui cara-cara semacam itu, kita memaksa masyarakat untuk “melawan” ekspansi Sawit dengan tawaran jenis tanaman lain.
  5. Keterbatasan tenaga (staff) dari Komisi-Komisi di keuskupan menjadi salah satu kendala dalam merencanakan dan melaksanakan program kerja. Selain itu, mereka yang bertugas dalam Komisi juga merangkap tugas lain: sebagai Pastor Paroki, Sekretaris, Ekonom, dll., sehingga penanganan karya Komisi kurang efektif.
  6. Dalam upaya untuk meningkatkan ekonomi umat, ketersediaan dana APPNas perlu diakses dan dimanfaatkan secara maksimal. Sayang sekali, belum banyak Paroki dan Keuskupan yang memanfaatkannya dengan cara mengajukan proposal ke pihak AAP Nas. Platform untuk HPS sudah meningkat dari Rp. 15 juta menjadi Rp. 20 juta, sementara untuk APPNas platformnya meningkat dari Rp. 25 juta menjadi Rp. 30 juta. Masing-masing Keuskupan mendapat 5 jatah pengabulan proposal dalam setiap rapat pembahasan proposal yang masuk. Pembahasan pengabulan proposal dilakukan dalam 4 kali pertemuan setahun. Itu berarti, dalam setahun setiap keuskupan mendapat jatah pengabulan 20 proposal.
  7. Makin dirasakan pentingnya membangun jejaring, baik pada tingkat lokal, nasional maupun international dalam upaya untuk membantu atau mengadvokasi masyarakat mempertahankan hak-hak mereka atas tanah. Dalam kaitan dengan itu, penggunaan mass media, seperti media cetak dan elektronik (video) menjadi sarana efektif dalam proses advokasi yang dimaksud. Melalui advokasi dengan bantuan media tersebut, kita ingin menghadirkan masalah-masalah ketidakadilan, perampasan atas hak serta marginalisasi yang dialami oleh masyarakat menjadi isue nasional, bahkan international. Tujuannya, dengan mencuatnya masalah ini ke tataran nasional dan international, akan mendapatkan tanggapan dari para pemangku kepentingan (stakeholder). Dengan kata lain, melalui pola advokasi semacam ini, opini publik kita manfaatkan sebagai media advokasi.

Sesi Human Trafficking terkait dengan politik pasar bebas dimana berlaku hukum pasar: ada permintaan dan ada penawaran. Perusahaan-perusahaan besar yang memerlukan tenaga kerja murah akan memanfaatkan jasa para agent yang biasa dan bisa merekrut tenaga murah yang dimaksud. Sayang sekali, tidak semua agent jasa itu memiliki izin resmi. Dengan jatuh ke tangan para agent jasa yang demikian itu, maka nasib para tenaga kerja migran berada dalam situasi yang berbahaya dan rentan menjadi obyek kejahatan dari para agent jasa tersebut.

Selain itu, faktor rendahnya pendidikan dan kemiskinan ikut menjadi faktor yang mendukung suburnya human trafficking. Dengan situasi yang demikian itu, mereka sangat rentan menjadi “obyek” perdagangan dengan janji dan iming-iming gajih yang tinggi. Untuk melawan hal itu, perlu ada usaha kongkrit, misalnya peningkatan ekonomi masyarakat dan akses terhadap pendidikan. Dalam kaitan dengan hal ini, peranan Komisi PSE dengan program peningkatan ekonomi umat menjadi penting. Banyak yang terjerumus dan menjadi korban human trafficking karena faktor kemiskinan dan kebodohan.

Dari sisi lain, faktor budaya juga menjadi faktor yang ikut mendukung terkondisinya human trafficking. Bentuk perkawinan yang dijodohkan sebagaimana yang dipraktikkan dalam budaya lokal (daerah Mensalong-Kaltara) ikut menjadi faktor pendukung terjadinya human trafficking, sebab dengan sistim perkawinan perjodohan ini anak perempuan menerima sejumlah bayaran atau purut/belis. Dengan bayaran ini, maka keluarga laki-laki berhak menuntut “pelayanan” yang maksimal dari pihak perempuan, dengan demikian pihak perempuan dijadikan “budak” dalam keluarga laki-laki. Oleh karena itu, usaha untuk “memerangi” human trafficking harus juga dilakukan dengan pendekatan budaya dan mengajak para tokoh adat untuk terlibat di dalamnya.

Sesi terakhir, Undang-undang Desa thn 2014 memberi pembelajaran bagi kita semua agar kita semakin terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai warga masyarakat, kita mempunyai hak untuk ikut merencanakan, melaksanakan dan mengawal pelaksanaan program pemerintah pada level pemerintahan yang paling kecil dengan terlibat secara aktif dalam lembaga musyawarah Desa. Kepeduliaan terhadap masalah kemasyarakatan dalam ruang lingkup yang paling kecil menjadi kepedulian kita terhadap kehidupan bermasyarakat dalam ruang lingkup yang lebih besar.

Acara ditutup dengan resume dan penegasan atas beberapa kesepakatan serta beberapa hal yang perlu menjadi catatan untuk para peserta pertemuan, khususnya para pengurus Komisi PSE, JPIC dan Caritas Sub-Regio Timur. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan sesi foro bersama dan makan siang. Pada Pk. 13.45 WIB seluruh peserta sudah meninggalkan tempat pertemuan untuk kembali ke tempat masing-masing.

(Rm I Ketut Adi Hardana, MSF).

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *