IMAM DAN PELAYANAN DALAM GEREJA

  1. Imam sebagai Murid

Pertama-tama, seorang imam dalam Gereja adalah seorang murid (Inggris: disciple; Yunani: mathētēs) Yesus, selalu dan Imamselamanya adalah seorang murid. Menjadi murid Yesus berarti dipanggil seperti murid-murid yang pertama: Simon Petrus, Andreas, Matius, Yakobus dan Yohanes serta murid lainnya. Mereka adalah murid-murid yang secara langsung dipanggil oleh sang Guru. Dalam  Injil Matius 5:27, Yesus berkata kepada Lewi, si pemungkut cukai: “Ikutlah Aku” dan Lewi pun segera mengikuti Yesus. Bagi seorang imam Gereja Katolik – seperti juga halnya dengan para murid Yesus pertama – hanya ada seorang Guru, yaitu Yesus sendiri.

Undangan atau panggilan yang disampaikan oleh Yesus bersifat serius dan tidak main-main dan karena itu harus ditanggapi secara serius dan total. Dalam Injil Mat 8:21-22, misalnya, Yesus menyampaikan panggilan itu dengan nada yang sangat tegas: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka”; atau dalam Injil Lukas 9:62 Yesus mengungungkapkan ketegasan itu dengan nada yang berbeda, tetapi tetap dengan maksud yang sama: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk kerajaan Allah”

Menjadi murid-Nya berarti melakukan karya pelayanan secara purna-waktu, sepanjang hidup seperti yang dilakukan oleh Yesus. Tidak ada hal-hal atau pribadi-pribadi lain yang dapat  menjadi penghalang dalam menjawab dan mewujudkan panggilan Sang Guru. Semua bentuk kelekatan – yang pasti sifatnya menghambat – harus dijauhkan dari kehidupan seorang murid, agar ia mampu menjawab dan mewujudkan panggilan itu secara penuh. Dalam kaitan dengan itu, Yesus pun menyampaikan teguran yang sangat keras kepada mereka yang berminat menjajdi murid-Nya: “Jikalau seorang datang kepada-ku dan ia tidak membenci bapaknya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:26).

Memang beberapa sabda Yesus ini terkesan keras dan berlebihan. Betulkah Yesus bermaksud untuk mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menguburkan ayahnya sendiri, tidak boleh pamitan dengan keluarganya, harus membenci sanak keluarga dan bahkan nyawanya sendiri dalam rangka menjawab panggilan kemuridan-Nya? Sepintas, kesan seperti itu bisa muncul, namun sebaiknya kita tidak menfasirkan dan memahaminya dalam arti sempit seperti yang tertulis dalam Injil. Pesan pokok yang mau disampaikan oleh Yesus bahwa siapa pun tidak dapat menjadi murid-Nya kalau Yesus tidak menjadi keseluruhan hidupnya. Untuk itulah, orang harus rela dan berani mengesampingkan hal-hal lainnya yang dianggap menjadi halangan dan hambatan dalam usaha untuk mewujudkan panggilan kemuridan itu. Hal itu secara nyata nampak dalam kehidupan para Imam yang dengan rela dan bebas meninggkan semua bentuk “kelekatan” duniawi: tidak menikah, tidak mengejar karier dan kedudukan, tidak memiliki rumah dan barang milik pribadi lainnya, supaya dengan sepenuhnya Yesus menjadi keseluruhan dalam hidupnya.

Dalam konteks itu, menjadi seorang murid Yesus berarti dipanggil kepada “kesusahan-kesusahan hidup” yang terasa kejam bagi kebanyakan orang: meninggalkan segalanya dan memeluk salib, tidak memiliki apa-apa, kecuali Yesus. Ia bersabda, “Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Menjadi seorang murid adalah meneladan sang Guru dalam arti sesungguhnya, dan Ia adalah seorang Guru yang berlimbah darah dan tersalib; Ia yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (bdk. Mat 20:28; Mrk 10:45). Bagi seorang Imam yang adalah murid Yesus, kehadirannya di tengah-tengah umat adalah untuk melayani umat dan bukan untuk dilayani. Spirit pelayanan yang ditunjukkan oleh Yesus, yang telah menyerahkan diri sampai wafat, artinya penyerahan diri sepenuh-sepenuhnya kepada mereka yang dilayani hendaknya menjadi spirit pelayanan bagi setiap Imam

  1. Imam sebagai Rasul

Selain sebagai seorang Murid, seorang imam adalah seorang Rasul. Menjadi seorang rasul berarti menjadi utusan Tuhan, siap diutus seperti halnya para Rasul untuk mewartakan kabar gembira keselamatan dan melayani orang-orang lain. Kata kuncinya di sini adalah “melayani”. Berkaitan dengan hal ini, Santo Paulus dalam surat ke-2nya kepada umat di Korintus menulis, “… aku suka mengorbankan milikku, bahkan mengorbankan diriku untuk kamu” (2 Kor 12:15). Yang dibawa oleh seorang Imam dalam tugas pewartaannya sebagai Rasul adalah Yesus;  tidak hanya pesan-Nya, melainkan juga kehadiran-Nya. Paulus menulis: “… bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus” (2 Kor 4:5).

Memang Yesuslah yang harus selalu diberitakan dan dihadirkan oleh seorang imam! Melalui apa dan bagaimana caranya? Lewat kata dan karya, lewat penata laksanaan sakramen-sakramen dan pengorbanan, terutama lewat kehidupan doa dan penderitaannya sebagai pribadi. Seorang Imam yang sudah lupa bagaimana berdoa adalah seorang Imam yang tidak dapat memberitakan dan menghadirkan Yesus di tengah-tengah umat meskipun dia dapat mewartakan hal-hal lainnya. Seorang Imam pengkotbah ulung atau menonjol dalam pelayanan-pelayanan tertentu yang berbangga diri karena disanjung-sanjung umat, namun tidak menempatkan doa sebagai pusat hidupnya, sesungguhnya ia sudah berada dekat sekali dengan jebakan si Jahat yang menawarkan ketenaran serta kenikmatan duniawi. Berhadapan dengan situasi semacam itu, ia harus selalu waspada dan “berjaga-jaga” dalam doa agar tidak jatuh kedalam “pelukan” si Jahat (lih.1 Ptr 5:8-9).

Seorang Imam, seperti Paulus, akan dapat menghadirkan Yesus bagi orang-orang lain secara efektif, apabila dia mempunyai tanda-tanda kepedihan dari kematian Yesus dalam tubuhnya sendiri; apabila dia terus-menerus gelisah karena – seperti Paulus – dia “tidak beroleh ketenangan bagi tubuhnya; di mana-mana mengalami kesusahan: pertengkaran dari luar dan ketakutan dari dalam” (2 Kor 7:5). Ketakutan dari dalam atau lebih tepatnya “rasa was-was/cemas” yang dimaksudkan di sini adalah rasa kesepian yang pada dirinya bukanlah alasan untuk meninggalkan kehidupan imamat; demikian juga ketiadaan penghargaan dari orang lain, rasa sedih yang mendalam karena menyadari kerapuhan dan kerentanan dirinya dan betapa kuatnya kejahatan yang ada di sekelilingnya, kata-katanya terasa hilang lenyap tertiup oleh angin sebab kelihatannya begitu sedikit umat yang sungguh memperhatikan; tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk meninggalkan panggilan dan tugas kerasulan yang diembankan kepada dirinya.

  1. Imam Pengawas Jemaat Allah

Seorang imam, sebagaimana disebut dalam Perjanjian Baru adalah Presbiter (Yunani: presbytes) atau pengawas jemaat Allah (bdk. Kis 14:23; 20:17; Tit 1:5), yaitu pribadi-pribadi yang bertanggung-jawab dalam hal pembinaan dan pemeliharaan pastoral gereja-gereja (pengatur rumah Allah). Hal ini digambarkan oleh St. Paulus dalam suratnya kepada muridnya Titus: “Ia harus tidak bercacat, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya” (Tit 1:7-9). Tugas yang diemban seorang Imam mensyaratkan kewibawaan, namun tanpa sikap dominan, juga kehangatan dalam hubungan interpersonal dengan siapa saja yang ditemuinya.

Yang penting untuk dipahami adalah kenyataan, bahwa seorang Imam mewakili sebuah lembaga yang bernama Jemaat atau Gereja. Betapa pun karismatiknya seorang Imam, betapa pun profetisnya dia; bahkan kalau dia dipanggil untuk menyerukan protes terhadap dosa-dosa dan korupsi dalam masyarakat dan dalam Gereja sendiri; seorang Imam harus mewakili lebih dari sekadar wawasan-wawasan pribadinya. Dia selalu hadir dan bertindak sebagai pemimpin jemaat, artinya mewakili jemaat secara keseluruhan dan bukan pribadi-pribadi tertentu. Karena itu, sikap dan tindakannya tidak bisa dilepaskan dari keberadaannya sebagai seorang pemimpin jemaat, artinya dia selalu bertindak in persona Christi yang menuntut keteladan dan kewibawaan sebagai layaknya seorang pemimpin bagi jemaat yang dipimpinnya.

Seorang Imam tidak dapat berada di luar Gereja karena dia adalah bagian dari Gereja. Hal ini bukan berarti bahwa Gereja selalu benar atau tidak dapat dikritisi, melainkan karena Gereja adalah tempat di mana iman kepercayaan itu lahir dan bertumbuh dan tempat darimana munculnya benih-benih panggilan imamat. Imam muncul dan berasal dari Gereja  dan kehadirannya untuk Gereja. Karena itu, seorang Imam tidak mungkin dipisahkan dari Gereja, baik dalam arti teologis maupun sosiologis. Gereja merupakan tempat dan pusat kebaktian, Gereja merupakan komunitas cintakasih. Gereja inilah yang diwakili oleh Imam, karena itu, dari dirinya selalu dan senantiasa dituntut sikap dan keteladanan kasih dalam tugas pengawasan dan pemerliharaan jemaat yang dipercayakan kepadanya.

  1. Imam Pemimpin Ekaristi: Pembagi “Roti” kehidupan

Seorang Imam adalah pemimpin perayaan Ekaristi. Ekaristi memang bukanlah merupakan keseluruhan tugasnya, namun merupakan kegiatannya yang sentral. Dalam kegiatannya yang menyangkut Ekaristi inilah seorang imam melakukan apa yang ditekankan oleh Santo Paulus untuk dilakukan, yaitu “memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (1Kor 11:26). Seorang Imam melaksanakan suatu pelayanan sakramental yang berpusat di sekitar roti kehidupan dan cawan/piala Perjanjian Baru. Di sekitar liturgi ini, Gereja telah membangun akses manusia kepada kehidupan yang adalah Kristus: dari air baptisan melalui abu pertobatan sampai kepada minyak urapan yang terakhir. Dalam proses kehidupan ini, Imam memainkan suatu peran yang unik, suatu peran yang menjadi fokus setiap kali dia memproklamasikan “terimalah dan makanlah: inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu. Terimalah dan minumlah, inilah piala Darah-Ku, Darah Perjanjian Baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku”.

Di sinilah, dalam Ekaristi, dalam arti yang sesungguhnya, terletak jantung imamat. Dalam merayakan Ekaristi peran seorang Imam menjadi sangat istimewa. Melalui kuasa yang diterimanya dari Sang Imam Agung dalam upacara tahbisan, kuasa Roh Kudus turun melalui dirinya untuk mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus. Dalam artikelnya yang berjudul Restoration of the priesthood, Frederick Heuser menulis: The Holy Eucharist is the very raison d’être of the ordained priest (Homiletic & Pastoral Review, January 1995, hal. 11), ekaristi adalah alasan yang paling pokok mengapa seseorang ditahbiskan menjadi Imam. Seorang Imam pertama-tama ditahbiskan untuk melayani perayaan ekaristi bagi umat, untuk membagi-bagikan rahmat Allah, “roti” kehidupan agar semakin banyak orang memiliki hidup dan memilikinya dalam kelimpahan (bdk Yoh 4, 12). Sebagai jantung imamat, maka merayakan ekaristi menjadi suatu keharusan bagi setiap Imam. Sama seperti jantung dalam anatomi manusia berperan sebagai pemompa dan penyalur darah keseluruhan bagian tubuh sehingga manusia tetap hidup; demikian juga halnya dengan ekaristi bagi Imam. Dalam merayakan ekaristi, Imam “memompakan” daya kehidupan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi seluruh Gereja, agar Gereja tetap hidup dan hidup dalam kelimpahan.

Seorang imam dapat saja melakukan tugas-tugas pelayanan lain, seperti mengajar, terlibat dalam kegiatan karya sosial, konseling umat dan lain sebagainya; namun pada titik tertentu dia mengumpulkan umat di sekitar altar, di sekeliling sebuah meja perjamuan, untuk berbagi “roti kehidupan dan piala keselamatan” dengan umat, untuk mengungkapkan syukur atas karya penebusan yang terlaksana secara tuntas dan yang melaluinya manusia dibuat menjadi satu dengan Allahnya dengan cara yang tak ada bandingannya. Inilah tugas utama dan mulia yang diembankan oleh Sang Imam Agung kepada setiap Imam. Selamat menghayati hidup imamat dalam semangat pelayanan yang murah hati.

Oleh:  Rm. I Ketut Adi Hardana, MSF

 

 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *